Advertisement

Bisnis Barang Bekas dari Goni ala Gunagoni

Rheisnayu Cyntara
Sabtu, 16 Juni 2018 - 12:30 WIB
Mediani Dyah Natalia
Bisnis Barang Bekas dari Goni ala Gunagoni Andreas Bimo Wijoseno berpose bersama produk kerajinan berbahan karung goni buatannya yang diberi merek Gunagoni, Jumat (6/4). - Harian Jogja/Rheisnayu Cyntara

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Menerapkan pola hidup sehat dengan memakan makanan organik tentu sudah banyak diketahui orang. Namun bagaimana dengan bisnis yang organik? Itulah yang Andreas Bimo Wijoseno, 44, terapkan dalam menjalankan bisnis kreatif Gunagoni miliknya. Laiknya bercocok tanam, bisnis yang Bimo jalankan, ia biarkan tumbuh secara organik. Tidak tergesa, juga tak masuk dalam pusaran mass industry. Sebab Bimo meyakini bisnis yang ia tanam dan pupuk kini akan ia panen hasilnya di kemudian hari.

Ditemui Harian Jogja belum lama ini, ayah dua anak tersebut menceritakan bisnis kreatif ini ia mulai lima tahun lalu. Kala itu, ia yang hidup dan bekerja selama belasan tahun sebagai seorang jurnalis di Jakarta memutuskan untuk pindah. Sebab sejak berkeluarga, ia dan istri menganggap iklim kota metropolitan itu tak cocok untuk membesarkan anak. Ritme hidup yang serba cepat membuat mereka terpaksa mempercayakan anak pada pembantu. Padahal setiap selesai Lebaran, pembantu selalu berganti entah karena minta kenaikan gaji atau alasan-alasan lainnya.

Advertisement

“2013 Pindah ke Jogja nah saat itulah saya mulai berpikir untuk menciptakaan pekerjaan, bukan lagi mencari pekerjaan,” ucapnya.

Bimo mengatakan tunas bisnis membuat kerajinan dari karung goni ini dimulai sejak kuliah di Universitas Sanata Dharma puluhan tahun lalu. Saat kuliah, Bimo bersama pacarnya [yang kini menjadi istrinya] gemar berjalan-jalan ke perajin. Mulai dari perajin batik, kayu, gerabah, apapun mereka sambangi. Bahkan dari puncak Kaliurang hingga Patuk pun pernah mereka jelajah. Bimo mengaku hal itu menjadi keasyikan tersendiri. Seringkali mereka juga membantu para perajin menjualkan produk mereka.

Keingintahuan Bimo tak berhenti sampai di situ, ia juga seringkali menelusuri para perajin yang memasok produk ke salah satu toko oleh-oleh khas terkenal di Jogja. Ia nongkrong di angkringan, mengobrol dengan juru parkir dan juga pemasok yang kebetulan ia temui. “Saya tanya lokasi produksinya di mana, saya datangi. Kalau enggak nemu ya saya coba buat sendiri,” ujarnya.

Itu semua jadi bekal saat ia tak lagi bekerja dan memilih untuk tinggal di Jogja. Bimo mulai kembali ke kegemarannya yang dulu, mendatangi perajin dan pasar-pasar tradisional. Sampai suatu ketika ia menemukan onggokan karung goni yang dibiarkan begitu saja di toko grosir. Tergerak melihat sampah tersebut, ia pun membelinya seharga Rp2.500-Rp3.000 per buah. Sampai di rumah, dia membersihkan karung-karung ini dan selesai. Barang-barang ini dia biarkan begitu saja berada di rumahnya.

Sampai suatu waktu seorang kawan meminta tolong untuk menjahit tas goninya yang rusak. Dari situlah Bimo mulai mencoba-coba menjahit karung goni menjadi produk kerajinan. “Padahal saya juga enggak bisa jahit. Nyoba saja, belajar pakai mesin jahit Singer hitam kuno. Ternyata bisa,” katanya.

 

Tak Instan

Proses menekui Gunagoni itu pun tak berlangsung instan dan hal ini memang yang Bimo hindari.

Bahkan untuk memasukkan produknya ke sebuah toko oleh-oleh dia tak ingin gerak cepat. Justru dia memata-matai lokasi yang dia inginkan, ketika merasa sreg, baru dia mencoba memasarkan.

Untuk urusan stok, lagi-lagi Bimo tak ingin menerapkan sistem tandon. Karena itu dia hanya menyediakan produk dua lusin. Langkah ini dipilih karena Gunagoni hanya roda produksi hanya diawaki dirinya dan keluarga, tanpa pegawai tambahan.

Selain itu, dia memang ingin mempertahankan jiwa bebas sebagai orang yang biasa bekerja di lapangan. Ia tak mau terkungkung dalam pola mass industry yang menuntut produksi sebanyak-banyaknya dengan biaya produksi serendah-rendahnya. Bahkan dalam membuat produk Gunagoni seperti tas, topi, sampul agenda, dan lain-lain ia tetap mempertahankan wujud asli dari goni itu. Tidak dilapisi lilin ataupun diwarnai. “Saya ingin sampaikan bahwa goni itu ya memang berasal dari sampah yang dulunya tidak digunakan. Tidak saya bikin terlalu cantik,” katanya.

Guna mempromosikan usaha ini beserta produk kreatif lain, Bimo bersam kawan-kawan menggagas Pasar Sasen di Sleman. Dalam pasar komunitas yang diadakan minggu pertama setiap bulan, mereka yang berkecimpung di bidang pertanian, peternakan, dan juga kerajinan akan berjualan produk-produk milik mereka. Dari situ, produknya mulai dikenal melalui gethok tular. Bahkan pada 2018i, dua produk Gunagoni berhasil lolos seleksi merchandising yang dilakukan panitia Art Jog, salah satu festival seni terbesar di Jogja. Bimo menganggap hal itu merupakan hasil menanamnya selama ini, bisnis organik yang ia jalankan mulai bertunas, bahkan berbuah. Namun seperti petani, masa panen bisnis ini tidak lantas berbarengan tetapi bergantian.

“Hidup organik itu bukan hanya makan makanan sehat tanpa pestisida. Manusianya pun juga harus bebas pestisida [pola hidup konsumtif, industrialisme, materialisme, dll]. Saya ingin semangat yang sama juga dapat diadopsi oleh kawan-kawan lainnya. Mengolah sampah jadi hal yang berguna dan menjalankan bisnis dengan organik. Karena toh tiap daerah selalu punya potensi limbah yang bisa dimanfatkan,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Baru KRL Solo Jogja Berangkat dari Stasiun Palur, Jumat 19 April 2024

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 04:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement