Advertisement
Bersaing dengan Perdagangan Kopi, Bisnis Mamin Berbasis Cokelat Makin Prospektif
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Direktur Penggunaan dan Pemasaran Produk Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Luther Palimbon mengatakan perkembangan bisnis cokelat tidak hanya terlihat dari ekspansi pelaku usaha besar hingga pelaku saha kecil dan menengah (UKM).
"Walau belum sebesar kopi, tetapi usaha [produk mamin berbasis] cokelat semakin ekspansif, bahkan hingga ke UKM, sudah banyak yang bisa produksi bubuk cokelat," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (2/8/2018).
Advertisement
Bahkan, berdasarkan survei yang dilakukan otoritas perdagangan, pelaku UKM dapat melakukan penetrasi pasar dengan sangat baik. Dia menilai pelaku UKM sudah cukup kompetitif, karena telah dapat membuat produk cokelat dengan kualitas dan kemasan yang menarik.
"Kita tidak punya data, tetapi kita tanya, produksi cokelat mereka selalu habis terjual ke pasar, ini artinya sangat baik sekali," tuturnya.
Luther menambahkan Kementerian Perdagangan masih belum memiliki data yang cukup komprehensif untuk dapat menggambarkan potensi pasar dari produk mamin berbasis cokelat.
"Kami masih dalam proses penyususna untuk melihat potensinya, jadi sambil mempromosikan pelaku UKM cokelatnya, kami juga mengumpulkan data-datanya," katanya.
Senada dengan Luther, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengatakan pelaku industri kakao juga cukup optimistis dapat mengembangkan usahanya.
Dia memaparkan penyerapan cokelat bubuk dari industri mamin berbasis cokelat selalu naik setiap tahunnya, yakni dari sekitar 70.000 ton pada 2016 menjadi 80.000 ton pada 2017.
"Bahkan untuk tahun ini, kami lebih optimistis lagi, konsumsi bubuk cokelat tahun ini menjadi 90.000," kata Sindra kepada Bisnis.com, Kamis (2/7/2018).
Sindra menjelaskan tren peningkatan tersebut dipacu oleh semakin banyaknya penelitian yang menjelaskan konsumsi cokelat baik untuk kesehatan, variasi penggunaan cokelat untuk produk mamin, dan semakin banyaknya industri cokelat beskala kecil menengah dan usaha waralaba yang bermunculan.
Belum lagi, dari sisi konsumen. Dia menjelaskan semakin banyaknya tren-tren konsumsi cokelat dan maraknya konsumsi cokelat pada acara-acara penting membuat prospek industri cokelat makin cemerlang.
Hanya saja, Sindra mengeluhkan konsumsi yang meningkat tersebut belum dapat diikuti oleh rantai pasok yang baik, membuat pelaku industri bergantung pada bahan baku impor.
Selain itu, kebijakan fiskal pemerintah terkait bahan baku cokelat dinilai terlalu memberatkan ongkos produksi. "Di negara lain untuk impor bahan baku dibebaskan dari bea dan pajak, tetapi di Indonesia harus membayar bea masuk 5 persen, kalau bisa jadi 0 persen," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kunjungi Washington DC, Ini Oleh-Oleh yang Dibawa Menkeu untuk Indonesia
- BI Rate Naik, Ekonom Berharap Bunga KUR Tak Ikut Naik
- Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Luhut Bentuk Tim Khusus
- Airlangga Nilai Nilai Tukar Rupiah Lebih Baik Dibandingkan Negara Lain
- Nilai Tukar Rupiah Remuk Akibat Konflik Iran-Israel, Ini Proyeksi Ekonom
Advertisement
Penyair Joko Pinurbo Wafat, Jenazah Disemayamkan di PUKJ Bantul
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Hari Ini Harga Telur Ayam Terpantau Naik hingga Rp31 Ribu per Kilogram
- Per Maret 2024, APBN Surplus Rp8,1 Triliun
- Biaya Pembangunan IKN Mencapai Rp72,1 Triliun dari APBN
- UMKM DIY Bisa Manfaatkan Securities Crowdfunding Sebagai Alternatif Pendanaan Selain Perbankan
- Kadin DIY Optimis Ekonomi Masih Stabil di Tengah Pelemahan Rupiah
- Digitalisasi Keuangan Daerah, BPD DIY Dukung Penuh Pemkot Jogja
- Journalist Competition Astra Motor Yogyakarta Kembali Digelar
Advertisement
Advertisement