Advertisement

JALAN BEBAS HAMBATAN: Menyusur Polemik Tol Trans Jawa

Newswire
Senin, 18 Februari 2019 - 11:10 WIB
Laila Rochmatin
JALAN BEBAS HAMBATAN: Menyusur Polemik Tol Trans Jawa Ilustrasi jalan tol. - JIBI/M. Ferri Setiawan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA -- Kelar dibangun, jalan tol Trans Jawa tak hanya menuai sambutan hangat masyarakat, melainkan juga kritik, mulai dari tarif yang dianggap mahal hingga kekhawatiran lalu lintas sepi. Perbincangan kian hangat karena tinggal dua bulan lagi pemilihan umum alias pemilu digelar. Berikut laporan wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), Rivki Maulana.

Tidak bisa dimungkiri, pembangunan jalan tol sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur menjadi agenda prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Anggaran infrastruktur juga meningkat pesat. Data Kantor Staf Presiden (KSP) menunjukkan belanja pemerintah di sektor infrastruktur mencapai Rp904,6 triliun (2015-2017), naik 198% jika dibandingkan periode 2012-2014 sebesar Rp456,1 triliun.

Hingga 2018, realisasi pembangunan infrastruktur tidaklah buruk, bahkan mencetak sejumlah rekor baru. Pembangunan jalan tol baru mencapai 782 kilometer dalam periode 2015-2018, menyamai panjang jalan tol yang dibangun 1978-2014 sejauh 784 kilometer. Sepanjang 2019, beberapa ruas jalan tol baru juga bakal rampung dengan panjang keseluruhan 895 kilometer.

Trans Jawa menjadi salah satu koridor jalan tol prioritas. Digagas sejak era Presiden Soeharto, Trans Jawa baru tersambung 933 kilometer dari Merak-Pasuruan pada 2018, atau 34 tahun setelah ruas pertama dibangun. Sebagai pembanding, Proyek Lebuhraya Utara Selatan atau PLUS yang membentang di Semenanjung Malaya sejauh 772 kilometer rampung dalam 12 tahun.

Menteri Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan waktu pembangunan amat memengaruhi tarif jalan tol. Dia menggambarkan tarif per kilometer Jakarta-Cikampek hanya mencapai Rp208 sedangkan Batang-Semarang Rp1.000. Biaya konstruksi, inflasi, pajak, bunga pinjaman menjadi faktor-faktor yang membuat tarif tol berbeda-beda.

Basuki menuturkan tarif tol yang dibangun di era 1980 berkisar Rp200/km-Rp300/km. Tarif berangsur naik menjadi kisaran Rp600 hingga Rp700 untuk tol yang dibangun di tahun 2000-2010. Sejak 2010, tarif per kilometer mencapai Rp900-Rp1.300.

Persepsi Keliru
Masa pembangunan yang tidak serempak seolah luput dari perhatian. Persepsi jalan tol mahal pun timbul. Bagi pengamat perkotaan Yayat Supriatna, persepsi keliru terhadap jalan tol menjadi faktor utama yang membuat tarif tol dinilai mahal.

Menurutnya, jalan tol kadung dianggap sebagai fasilitas publik. Padahal, jalan tol merupakan komoditas karena dibangun oleh badan usaha. Jalan tol juga terikat standar pelayanan minimum (SPM) yang menjadi salah satu syarat dalam penaikan tarif.

Berdasarkan UU No.38/2004 tentang Jalan, jalan tol tergolong jalan alternatif yang memiliki spesifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan jalan nasional. Oleh karena itu, jalan tol merupakan pilihan. Di sisi lain, penyelenggaraan jalan umum menjadi kewajiban negara.

Data Kementerian PUPR menunjukkan jalan nasional yang dibangun pada 2015-2018 mencapai 3.432 kilometer, tiga kali lipat dari panjang jalan tol baru. "Dalam konteks pelayanan, kalau mau enak, ya harus bayar. Kalau tidak mau ribet, jangan masuk jalan tol," kata Yayat di Jakarta, Jumat (15/2/2019).

Soal tarif tol boleh dibilang menjadi dilema. Bagi pengusaha, tarif yang tinggi membuat struktur biaya tidak efisien. Padahal, salah satu sasaran pembangunan jalan tol adalah menurunkan biaya logistik. Saat ini, rasio biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih di kisaran 20%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Sementara itu, badan usaha jalan tol (BUJT) bakal makin terimpit bila tarif terus turun. Tarif yang berlaku saat ini mengacu pada kebijakan rasionalisasi tarif yang lebih rendah dari patokan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT). Perhitungan investasi yang luncas tidak hanya bikin pusing BUJT, melainkan juga kreditor. Alhasil semua aspek dalam pengembalian investasi perlu dihitung ulang.

Daerah Proaktif
Perihal tarif, Yayat punya usul yang layak ditimbang, terutama oleh pemerintah daerah. Menurutnya, pemerintah harus gesit dalam menangkap peluang dari kehadiran jalan tol. Selain mengembangkan destinasi wisata, Pemda juga perlu memberdayakan sektor-sektor unggulan di wilayahnya. Caranya dengan memberikan subsidi bagi angkutan barang tertentu. Di dalam postur anggaran, terdapat dana transfer ke daerah dalam bentuk dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.

Yayat mengatakan pemerintah daerah bisa menggenjot hasil pertanian dan perkebunan di daerah dengan memanfaatkan jalan tol Trans Jawa. Subsidi angkutan, katanya, bisa meringankan biaya operasional pengusaha lokal.

"Daerah jangan diam, harus proaktif. Dia bisa memberikan semacam subsidi untuk angkutan logistik agar mempermudah distribusi bahan pangan."

Dia mengatakan jalan tol menjadi tulang punggung struktur ruang yang akan memicu pertumbuhan wilayah yang dilintasi. Adapun setelah jalan tol terbangun, pekerjaan selanjutnya yakni menghubungkan jalan tol dengan simpul-simpul kegiatan ekonomi.

Hal senada dikemukakan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi, Sanny Iskandar. Menurut dia, keberadaan jalan tol bakal memicu kehadiran kawasan industri baru. Pemerintah daerah perlu proaktif menarik investasi.

Saat ini, jalan tol Trans Jawa secara utuh dengan panjang 933 kilometer baru resmi berjalan kurang dari satu bulan karena penetapan tarif untuk tujuh ruas baru berlaku 21 Januari 2019. PT Jasa Marga Tbk melansir, sejak tarif berlaku, penurunan trafik untuk kendaraan pribadi mencapai 2% sedangkan kendaraan nonpribadi 4,7%. Dia menilai penurunan wajar karena selama satu bulan pengguna tidak dikenakan tarif.

Tentu saja, melihat tren lalu lintas di jalan tol hanya dalam satu bulan bukan sudut pandang yang tepat. Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR Sugiyartanto menilai pola lalu lintas harian akan semakin sahih bila interval waktu semakin panjang. Oleh karena itu, pihaknya akan mengevaluasi tren lalu lintas dalam tiga tahun sebagai modal untuk mengamendemen PPJT.

Terlepas dari polemik yang ada, jalan tol Trans Jawa sudah terbangun. Perlu jalan terbaik agar infrastruktur yang dibangun susah payah ini bisa memberikan manfaat secara luas.

Advertisement

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lomba Dirikan Tenda Darurat Meriahkan HUT Ke-20 Tagana

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 16:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement