Advertisement

Tantangan Ekonomi Menanti Pemerintahan Baru, Begini Saran Ekonom UGM

Catur Dwi Janati
Jum'at, 18 Oktober 2024 - 18:57 WIB
Arief Junianto
Tantangan Ekonomi Menanti Pemerintahan Baru, Begini Saran Ekonom UGM Ilustrasi pertumbuhan ekonomi / Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMANSejumlah tantangan ekonomi menanti pemerintahan baru di bawah komando presiden terpilih Prabowo Subianto. Persoalan fiskal, moneter hingga ketenagakerjaan telah menanti di ambang pintu pemerintahan baru. Menunggu dituntaskan, berbagai tantangan ekonomi yang ada dianggap bisa diatasi lewat kebijakan yang terintegrasi.

Ekonom UGM, Akhmad Akbar Susamto berpendapat tantangan ekonomi yang akan dihadapi pemerintahan baru terbilang cukup kompleks.

Advertisement

Memang, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berada di kisaran 5% yang merupakan angka moderat. Akan tetapi pertumbuhan itu, menurut Akhmad belum ccukup untuk membebaskan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah. 

"Pertumbuhan ini, meskipun stabil, masih belum cukup untuk membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai status negara berpendapatan tinggi," kata Akhmad, Kamis (17/10/2203).

Supaya mampu keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, Indonesia menurut Akhmad harus meningkatkan investasi modal. Langkah ini dia anggap bisa mengakselerasi pembangunan ekonomi. 

"Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu meningkatkan investasi modal yang saat ini masih berada di bawah 30 persen dari PDB​," ujar dia.

Di sektor ketenagakerjaan, meskipun tingkat pengangguran terbuka (TPT) telah turun ke level yang lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, struktur tenaga kerja saat ini masih didominasi oleh pekerja sektor informal.

Fenomena ini, disebut Akhmad memperlihatkan adanya penurunan pada jumlah pengangguran tetapi kualitas pekerjaan yang ada belum terlihat membaik. "Ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah pengangguran berkurang, kualitas pekerjaan belum membaik," ujar Akhmad. 

Pascapandemi, jumlah pekerja sektor informal jauh lebih besar ketimbang sektor formal. Sebanyak 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17% dari total pekerja adalah para pekerja di sektor informal.

"Kondisi ketenagakerjaan kita belum pulih sepenuhnya, tapi orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan begitu. Maka tidak heran kalau sektor informal meningkat," ujar dia.

Di lain sisi, dominasi sektor informal ini juga seolah menggambarkan bagaimana lemahnya sektor formal menyerap tenaga kerja.

Pemerintahan baru pun kudu mencari jalan keluar agar kualitas lapangan pekerjaan bisa meningkat. Dengan demikian daya serap tenaga kerja di sektor formal bisa membaik yang selama ini didominasi sektor informal. 

"Dominasi sektor informal saat ini bahkan lebih parah dibandingkan sebelum pandemi, yang mencerminkan lemahnya pemulihan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja. Kondisi ini menimbulkan tantangan dalam meningkatkan kualitas lapangan kerja dan memastikan stabilitas ekonomi bagi pekerja​," ujarnya.

Kapasitas Fiskal

Beralih ke sisi fiskal, Akhmad mengungkapkan jika ruang gerak pemerintah terbatas lantaran kapasitas fiskal yang sempit.

Beban utang serta komitmen besar terhadap proyek infrastruktur dan program sosial, dianggap Akhmad mengurangi fleksibilitas anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Menghadapi situasi ini, mau tak mau pemerintahan baru perlu memaksimalkan sumber daya yang ada secara efektif.  "Dengan keterbatasan ini, pemerintah perlu mengoptimalkan sumber daya yang ada dengan lebih efektif," ucap dia.

BACA JUGA: Prabowo Meminta Airlangga Menjaga Perekonomian Indonesia Tetap Stabil

Sekalipun dinyatakan masih sesuai dengan rancangan APBN, defisit anggaran APBN per Juli 2024 sebesar Rp93,4 triliun perlu diperhatikan.

Kondisi itu bisa berdampak pada ruang fiskal pemerintah. Akhmad memperkirakan hingga akhir tahun, kemampuan pemerintah dalam mendongkrak ekonomi nasional cenderung rendah.

"Dana yang bisa diotak-atik itu lebih sedikit karena sudah ada alokasinya. Sisanya ini akan lebih kecil lagi karena ada janji-janji politik yang sudah disampaikan oleh pemerintahan lalu maupun nanti dari pemerintahan baru," ujarnya. 

Suku Bunga

Sementara dari sudut pandang moneter, Bank Indonesia (BI) juga menghadapi kendala untuk menurunkan suku bunga. Dengan suku bunga yang tinggi di Amerika Serikat, penurunan suku bunga di dalam negeri berisiko memicu pelarian modal atau capital flight dan melemahnya nilai tukar rupiah. Risiko tersebut dapat mengganggu stabilitas ekonomi secara keseluruhan. 

"Oleh karena itu, ruang bagi kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga menjadi terbatas​," saran Akhmad. 

Salah satu strategi yang coba diambil Bank Indonesia dalam mempertahankan ekonomi nasional ialah menetapkan suku bunga tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Kebijakan ini digerakkan dengan tetap mengacu pada kebijakan The Fed yang juga meningkatkan suku bunga sebagai respons atas inflasi di Amerika.

Kemudian saat suku bunga Amerika turun sebesar 0,5%, tapi Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga di angka 6%. Strategi ini kata Akhmad diambil untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.

"Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri," terangnya. 

Baik pada lini kebijakan fiskal maupun moneter, pemerintah berkemungkinan mengalami persoalan sulit karena ruang gerak ekonomi yang sempit.

Namun Akhmad menilai bila pertumbuhan ke depan mungkin akan cenderung stabil, hanya saja tidak bisa secara progresif meningkat. 

Oleh karena itu, Akhmad menyarankan pemerintahan baru sebaiknya fokus memperbaiki ketahanan ekonomi.

Salah satu kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah selain dari sisi ekonomi, yakni memperbaiki sistem reward dan punishment. Pasalnya dia melihat kondisi ekonomi sekarang ibarat masyarakat salah insentif. "Ada kondisi di mana seseorang yang baik justru dihukum, dan yang buruk justru diberikan reward. Kondisi ini mengacu pada banyak fenomena yang menghambat masyarakat untuk berkembang," tuturnya.

Akhmad menegaskan untuk menghadapi kompleks tantangan ekonomi pada pemerintahan baru nanti, diperlukan pendekatan yang saling terintegrasi antara kebijakan fiskal, moneter dan ketenagakerjaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Masa Tanam Padi di DIY Diprediksi Dimulai Oktober dan November 2024

Jogja
| Jum'at, 18 Oktober 2024, 22:37 WIB

Advertisement

alt

Komunitas Vespa di Jogja Memulai Perjalanan ke Sabang Demi Mendapatkan Biji Kopi Lokal Setiap Daerah

Wisata
| Rabu, 16 Oktober 2024, 11:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement