Advertisement
Cadangan Devisa, Pengaruh Eksternal Masih Dominan

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Di tengah gejolak nilai tukar, cadangan devisa Indonesia hingga akhir tahun diperkirakan mencapai kisaran US$113 miliar.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro mengatakan angka tersebut sangat rendah dibandingkan akhir 2017 yang mencapai US$130 miliar. "[Penurunan ini] Kebanyakan diakibatkan oleh faktor eksternal," ujar Andry, Jumat (5/10/2018).
Advertisement
Faktor eksternal tersebut antara lain adalah pengetatan suku bunga global, perang dagang, penurunan volume perdagangan global yang membatasi pertumbuhan ekspor, penyebaran sentimen negatif kepada negara berkembang, tendensi kenaikan harga minyak yang memperlebar defisit neraca migas.
Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa berada di posisi US$114,8 miliar pada akhir September 2018. Direktur Departmen Komunikasi Junanto Herdiawan menuturkan cadangan devisa tersebut masih cukup tinggi walaupun lebih rendah dibandingkan dengan US$117,9 miliar pada akhir Agustus 2018.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ungkap Junanto, Jumat (5/10/2018).
Menurutnya, penurunan cadangan devisa pada September 2018 terutama dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Ke depan, dia menegaskan Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh keyakinan terhadap stabilitas dan prospek perekonomian domestik yang tetap baik, serta kinerja ekspor yang tetap positif.
Terkait dengan nilai tukar, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pelemahan rupiah pada akhir minggu ini, Jumat (5/20), dipengaruhi oleh faktor risk off naiknya imbal hasil US Treasury atau surat utang bertenor 10 tahun milik AS.
"Suku bunga obligasi pemerintah yang memang cukup tinggi jadi 3,23 untuk 10 tahun mengantisipasi dari hasil survei Michigan yang kemungkinan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di Amerika lebih besar dari yang diperkirakan," paparnya, Jumat.
Dia memandang pertumbuhan lapangan kerja ini menunjukkan bahwa ekonomi AS yang menguat, sehingga menarik likuiditas investasi global.
Ketegangan perdagangan AS dan Tiongkok yang terus berlangsung, menurut Perry, juga masih berpengaruh terhadap perkembangan nilai tukar rupiah. Hal ini ditambah dengan adanya faktor geopolitik di Eropa dan tempat lain.
Hingga saat ini, Perry menegaskan BI akan selalu berada di pasar, memantau dan melakukan stabilisasi sesuai mekanisme yang ada. Strategi tersebut dipilih untuk menjaga agar supply demand bergerak secara baik di pasar valas. “Sejauh ini pasokan dan permintaan valas masih cukup baik,” katanya.
BI juga menjaga komunikasi dengan perbankan, eksportir dan importir. Bank sentral bekerja sama dengan pemerintah masih melanjutkan langkah koordinasi untuk pengendalian defisit transaksi berjalan.
"Dengan Menko, Menkeu dan OJK, terus diperkuat untuk langkah lanjutan penurunan defisit transaksi berjalan," katanya. (JIBI/Bisnis Indonesia/Hadijah Alaydrus)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Perahu Nelayan di Kulonprogo Terbalik, 2 Nelayan Selamat
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- NATO Diingatkan Trump untuk Berhenti Beli Minyak Rusi
- Insentif TKDN 25 Persen, Peluang Baru untuk Industri Ponsel Lokal
- BEI DIY Optimistis Bisa Menambah 50.000 Investor di 2025
- Pakar UGM: Kesinambungan Kebijakan Fiskal Jadi Kunci Stabilitas Pasar
- 5 Bank Disuntik Rp200 Triliun, Begini Penjelasan Indef
- Alasan dan Skema Merger Pelita Air dan Garuda
- Modal Asing Rp14,2 Triliun Kabur Pekan Ini
Advertisement
Advertisement