Advertisement

Corona Jadi Bencana Nasional, Perjanjian Hukum Jadi Lebih Fleksibel

Setyo Aji Harjanto
Selasa, 14 April 2020 - 02:47 WIB
Nina Atmasari
Corona Jadi Bencana Nasional, Perjanjian Hukum Jadi Lebih Fleksibel Suasana Stasiun Kota yang sepi dari penumpang di Jakarta, Jumat (10 - 4). PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) akan menyesuaikan operasional kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek sejalan dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sesuai aturan PSBB, maka operasional KRL di pemerintah provinsi DKI Jakarta dimulai pukul 06.00 WIB dan berakhir hingga 18.00 WIB.

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Penetapan pandemi corona (Covid-19) sebagai bencana nasional dapat berimplikasi terhadap semua perjanjian hukum antara para pihak. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, Senin (13/4/2020).

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.

Advertisement

"Artinya dalam keadaan yang di luar perkiraan implikasi hukumnya, semua perjanjian hukum menjadi lebih fleksibel. Namanya dalam keadaan kahar atau force majeur," katanya.

Menurutnya, meski menjadi lebih fleksibel, para pihak yang terikat dalam perjanjian hukum tidak boleh saling menekan satu sama lain. Dalam situasi force majeur, sambungnyapara pihak yang terikat perjanjian harus duduk bersama dan mencari solusi bersama.

Misalnya, terkait dengan perjanjian kerja bersama antara perusahaan dan karyawan atau buruh. Perjanjian antara para pihak menjadi lebih fleksibel dengan adanya kondisi force majeur berupa status bencana nasional Covid-19.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjawab pertanyaan wartawan seusai memberikan keterangan pers mengenai dampak virus corona pada sektor pariwisata, di Jakarta, Kamis (12/3/2020)./Bisnis/Triawanda Tirta Aditya

Namun, pihak perusahaan tidak bisa seenaknya, seperti melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh atau pekerjanya. Pun sebaliknya, pihak buruh atau karyawan diharapkan tidak menekan pihak perusahaan untuk membayarkan, misal, Tunjangan Hari Raya (THR).

"Implikasinya, contohnya, saya punya perjanjian kontrak dengan kontrakfor, karena kondisi force majeur, sehingga saya wanprestasi itu menjadi hukumnya, tidak menjadi mengikuti kondisi normal. Itu pengertiannya, ini kan namanya di luar kuasa kita," katanya.

Terkait dengan kondisi force majeur ini terdapat pasal yang sering digunakan sebagai acuan untuk membahas soal force majeur, yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata.

Berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Kemudian, Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi, tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Porda XVII DIY 2025: Sleman Mulai Siapkan OPD Pendamping Cabor Demi Membidik Juara Umum

Sleman
| Kamis, 03 Juli 2025, 10:37 WIB

Advertisement

alt

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah

Wisata
| Senin, 30 Juni 2025, 06:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement