Advertisement
Ini Alasan Industri Asuransi Indonesia Lemah

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA — Apabila masih saja memiliki daya tawar yang rendah ketika berhubungan dengan industri jasa keuangan lain, terutama bank dan lembaga pembiayaan, industri asuransi Indonesia akan terus stagnan.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM sekaligus Komisaris Independen PT Jasa Raharja Rimawan Pradiptyo mencontohkan beberapa masalah yang mengakibatkan terjadinya hal tersebut.
Advertisement
"Gambarannya asuransi sekarang ini seperti berada di rantai makanan yang paling rendah. Apalagi dengan persaingan yang kompetitif, semakin memperlemah bargaining position dalam supply network. Klien seperti bank, ketika sedikit menekan mau pindah saja, asuransi sudah ketakutan," ujarnya dalam diskusi virtual bersama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Kamis (24/6/2021).
Bank, dealer, lembaga pembiayaan, semua mengalihkan risiko kepada asuransi, tetapi dengan kontrak term & condition yang terkadang tidak menguntungkan perusahaan asuransi. Pengalihan risikonya pun bersifat eksesif, contohnya soal bagaimana kriteria kredit macet yang bisa mendapatkan klaim.
Baca juga: Muncul ke Publik, Perempuan yang Ngaku Punya Anak dari Rezky Aditya Minta Maaf
Hal ini diperparah dengan perusahaan asuransi yang lebih banyak menurut karena key performance mereka masih berfokus pada pendapatan premi atau kuantitas semata, belum menyentuh kualitas. Tak ayal, hal ini turut berimbas pada semakin banyaknya oknum yang melakukan kegiatan bisnis secara ugal-ugalan.
Rimawan menilai fenomena bargaining position asuransi yang lemah salah satunya bisa diatasi dengan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau PSAK 74 adopsi dari International Financial Accounting Standard (IFRS) 17.
Selain itu, optimalisasi peran otoritas untuk ikut mengawasi supply network yang kondusif buat asuransi, perbaikan sistem kontrak, serta penerapan ISO 37001 hingga ke kantor cabang.
"Jadi harapannya dengan IFRS 17 harapannya asuransi tidak lagi mengejar premi karena tidak bisa langsung masuk jadi pendapatan, ada porsinya. Sehingga fokusnya ke underwriting, apakah kemudian di belakangnya nanti akan ada banyak klaim atau tidak," tambahnya.
Konsultan Independen Sahat H Sitompul menjelaskan lebih lanjut beberapa kasus terkait lemahnya perusahaan asuransi terhadap perbankan, terutama dalam bancassurance dan asuransi kredit.
Contoh yang timnya temui di lapangan, di antaranya terkait pemalsuan dokumen, klaim dari kredit yang sebenarnya tak layak disetujui, serta adanya beberapa oknum yang berupaya mendapatkan manfaat dengan memalsukan kematian nasabah.
"Perbankan dan asuransi jelas saling membutuhkan. Tapi karena barganing position asuransi lemah, menganggap bank ini channel utama, apapun maunya perbankan, pasti diikuti. Walau fraud sekalipun, kalau asuransi diminta bayar klaim oleh bank, ya, bayar. Ke depan harusnya tidak bisa seperti ini. Harus win-win solution," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Popularitas Mobil LCGC Merosot, Tak Lagi Terjangkau Kelas Bawah
- Asita DIY Catat Kunjungan Wisata Saat Libur Sekolah Naik 10-15% Dibanding Tahun Lalu
- Harga Emas di Pegadaian Hari Ini Kompak Naik
- Jakarta Fair 2025 Berakhir, Transaksi Sentuh Rp7,3 Triliun
- Airlangga Sebut Tarif Impor AS 32 Persen untuk Indonesia Masih Nego
Advertisement

Update Jadwal KRL Jogja Solo per Rabu, 16 Juli 2025, Lengkap dari Stasiun Tugu hingga Palur
Advertisement

Berwisata di Tengah Bediding Saat Udara Dingin, Ini Tips Agar Tetap Sehat
Advertisement
Berita Populer
- Ribuan Dapur Umum Sudah Terbentuk, Pemerintah Antisipasi Defisit Ayam dan Telur
- Harga Emas di Pegadaian Hari Ini Kompak Naik
- Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Hari Ini, Selasa 15 Juli 2025
- Harga Pangan Hari Ini: Cabai Rawit Rp67.171/Kg, Bawang Merah Rp40.943/Kg
- Asita DIY Catat Kunjungan Wisata Saat Libur Sekolah Naik 10-15% Dibanding Tahun Lalu
- Selama Libur Sekolah 1,2 Juta Penumpang Gunakan KA Jarak Jauh di Daop 6 Yogyakarta
- Penjualan LCGC Turun Drastis hingga 50 Persen, Pakar: Akibat Regulasi dan Harga yang Semakin Tinggi
Advertisement
Advertisement