Advertisement
Pelaku Usaha Hotel dan Restoran Tolak Kewajiban CHSE
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Belum usainya pandemi Covid-19 membuat banyak pelaku usaha perhotelan dan restoran yang gulung tikar dan menjual asetnya karena penurunan jumlah pengunjung.
Sutrisno Iwantono, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, mengatakan bahwa kondisi industri perhotelan semakin memprihatinkan, karena merosotnya jumlah pengunjung.
Advertisement
Dia menuturkan, hingga kini beberapa pelaku usaha perhotelan di Jakarta, mulai dari hotel berbintang hingga penginapan bujet banyak yang gulung tikar.
“Misalnya di daerah Mampang, Jakarta Selatan itu sudah ada hotel yang tutup. Saya tidak mau sebut nama hotelnya, tetapi intinya bangkrut,” katanya, Senin (27/9/2021).
Sutrisno menjelaskan, kesulitan juga terjadi pada pelaku usaha di sejumlah daerah, karena rata-rata okupansi hotel hanya 10 persen.
Menurutnya, pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) bisa menjadi salah satu cara untuk menolong pelaku usaha perhotelan. Untuk itu, dia pun berharap pemerintah tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang memberatkan pelaku usaha.
Kebijakan yang mewajibkan sertifikasi cleanliness, health, safety, and environment sustainability (CHSE), kata dia, justru memberatkan pelaku usaha perhotelan dan restoran.
“Kewajiban sertifikasi CHSE ini jelas bertentangan dengan upaya pemulihan di sektor pariwisata, seperti hotel dan restoran,” ucapnya.
Dia menilai, kewajiban CHSE dapat membebani para pelaku usaha hotel dan restoran karena harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Terlebih, saat ini kondisi industri hotel tengah terpuruk, sehingga CHSE akan semakin semakin memberatkan pengusaha.
Selain itu, pelaku usaha juga terpaksa melakukan sejumlah perubahan, seperti menambah tempat cuci tangan dan fasilitas yang lainnya sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
“Untuk memperoleh sertifikasi itu saja kami harus bayar. Belum lagi persiapan lainnya, seperti menyiapkan tempat cuci tangan dan fasilitas yang lainnya juga kami keluar biaya. Perkiraan untuk satu hotel nonbintang itu bisa keluar Rp10 juta sampai Rp15 juta,” jelasnya.
Sejak diwajibkan, sertifikasi CHSE pun dinilai belum bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap usaha hotel dan restoran.
Dia pun menegaskan, prinsip CHSE sebenarnya telah menjadi best practice di industri perhotelan dan telah masuk ke dalam standar laik sehat, food safety management system, dan occupational health and safety assessment series (OHSA).
“Hotel dan restoran itu sektor yang paling siap dalam mengimplementasikan protokol kesehatan. Sertifikasi CHSE tidak layak untuk dijadikan kewajiban setiap tahun dengan biaya yang berat, apalagi dimasukkan dalam online single submission. Kami tolak kewajiban ini karena kondisi kami saat ini tengah bangkit dari keterpurukan,” ucap Sutrisno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Program Makan Bergizi Gratis Incar Pengusaha Kuliner Lokal, PPJI DIY: Baru Penawaran Sewa Dapur
- Ombudsman Sebut Pengaturan Pupuk Bersubsidi Perlu Payung Hukum
- Luhut Sebut Rencana Kenaikan PPN 12 Persen Awal 2025 Kemungkinan Ditunda
- 4 Keuntungan Memakai Rak Dapur Terbuka di Rumah
- Ribuan Orang Teken Petisi Tolak PPN 12 Persen
Advertisement
Top Ten News Harianjogja.com, Kamis 5 Desember 2024, Makan Bergizi Gratis, Tol Jogja-Solo, hingga Gus Miftah Minta Maaf
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Pinjol dan Judi Online Berefek Domino pada Industri Asuransi Umum
- Janur Resto Malyabhara Hotel Luncurkan Christmas Dinner Istimewa untuk Libur Akhir tahun
- Bank BPD DIY Pererat Silaturahmi dengan Purnabakti
- Okupansi Hotel DIY Libur Akhir Tahun, PHRI DIY Andalkan Rombongan Sekolah dan Perusahaan
- Resmi! Pemerintah Terbitkan Aturan Soal Formula Kenaikan UMP 2025
- Disperindag DIY Gelar Business Matching Gerakan Bangga Buatan Jogja di Galeria Mall
- Ekonom Nilai Tidak Ada Urgensinya PPN Naik 12 Persen Awal 2025
Advertisement
Advertisement