Advertisement
Pemerintah Harus Awasi Persaingan Tarif Ojol yang Kian Tak Sehat

Advertisement
Harianjogja.com, MAKASSAR—Aksi perang tarif ojek online (ojol), menyusul terbitnya Kemenhub 348/2019, masih terjadi dan kian tak sehat, sehingga harga layanan transportasi berbasis aplikasi menjadi tidak masuk akal atau sangat murah.
“Pemerintah harus turun tangan mengatur persaingan bisnis ride hailing. Harga dapat diatur oleh pemerintah dengan cara menerapkan harga yang wajar menghitung biaya produksi dan lainnya secara rinci. Kemudian pemerintah harus mampu mengawasi persaingan usaha mereka di lapangan,” kata Syamsuri Rahim, Wakil Dekan Universitas Muskim Indonesia Makassar, Rabu (8/5/2019).
Advertisement
Menurut dia, monopoli pasar tidak akan terjadi jika pemerintah mampu mengatur kebijakan persaingan usaha di lapangan. Dengan peran pemerintah, pada akhirnya akan melahirkan kondisi pasar yang kompetitif dan lebih baik.
Di sisi lain, Lambang Basri Sair, pengamat transportasi Universitas Muslim Indonesia menambahkan, ada dampak yang harus dipertimbangkan pemerintah terutama terkait dengan jumlah armada layanan online yang tidak dibatasi.
“Nanti [jumlah kendaraan] akan membengkak mengisi ruang jalan dalam keadaan kosong. Perlu ada kajian mendalam untuk rasionalisasi yang melahirkan regulasi pembatasan,” kata dia.
Dalam aksi perang tarif diketahui Gojek terpaksa meladeni kompetitornya Grab dalam melayani ojek online di Indonesia. Untuk menghindari perkembangan pasar yang sehat, Gojek sempat disarankan untuk keluar dari zona perang tarif, dan tak terpancing melakukan aksi itu semakin dalam.
Selain menimbulkan iklim usaha yang tidak sehat, juga dapat menghambat inovasi dalam investasi teknologi di ojek online. “Ini sangat tidak sehat. Menggangu inovasi karena profit turun akibat banyak bakar uang di promo tarif dan dampaknya merugikan mitra pengemudi juga,” kata pengamat industri digital dari Universitas Indonesia, Harryadin Mahardika, di Jakarta, Minggu (3/5/2019).
Perang tarif tersebut, jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan menjadikan semua pihak makin bergantung dan memperburuk layanan perusahaan kepada konsumen. Apalagi dengan kategori pasar di Indonesia, tambah Syamsuri, memiliki perilaku konsumen yang tidak terlalu memerhatikan aspek keselamatan.
“Kemudian, pelaku bisnis lain yang tidak bisa bersaing dan dipaksa mengikuti model ojol, nanti melahirkan pasar ojol yang dimonopoli perusahaan tertentu dan kemudian mengendalikan semuanya. Jadi kalau Monopoli sudah terjadi, ujung-ujung konsumen jadi korban dan nanti seenaknya mengatur tarif,” jelas Syamsuri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Semarakkan Solo Raya Great Sale 2025, Ada Diskon Tarif Kereta Api 10 Persen, Ini Daftarnya
- Penuhi Syarat Keselamatan Terbang, Garuda Indonesia Buka Lagi Rute Jakarta-Doha
- Kecurangan Beras Rugikan Konsumen Rp99,35 Triliun harus Ditindak
- Harga Bawang Merah Masih Tinggi di Level Rp42.528 per Kilogram
- Shopee Tambah Beban Baru Biaya Transaksi untuk Seller
Advertisement
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Ini Daftar Tarif Listrik PLN Mulai 1 Juli 2025
- Barsa City Yogyakarta Resmikan HQ dan Unit Baru Tipe Studio
- Harga Emas Antam Hari Ini 30 Juni 2025 Turun Drastis, Rp1,88 Juta per Gram
- 30.000 Pekerja Terkena PHK hingga Juni 2025, Begini Langkah Pemerintah
- Hingga Mei 2025, Realisasi Belanja APBN di DIY Mencapai Rp7,26 Triliun
- Harga Bawang Merah dan Cabai Hari Ini 30 Juni 2024 Turun
- Permudah Perizinan Usaha, Pemerintah Terbitkan PP 28/2025 dan Wajibkan Semua K/L Masuk OSS-RBA
Advertisement
Advertisement