Advertisement
Industri Tekstil Masih Lesu, API DIY Ungkap Penyebabnya
Industri tekstil. - JIBI
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA— Industri tekstil di Indonesia dan khususnya DIY saat ini masih lesu disebabkan karena dua hal. Sekretaris Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Timotius Apriyanto mengatakan dua hal tersebut adalah kondisi geopolitik global dan impor ilegal.
Dia menjelaskan kondisi geopolitik global menyebabkan dari sisi suplai dan demand tekstil, produk tekstil berkontraksi. Krisis global yang terjadi di antaranya Krisis Laut Merah, Rusia-Ukraina, hingga di jalur Gaza.
Advertisement
"Situasi pertekstilan di Indonesia saat ini tidak begitu baik, dalam arti ini dipengaruhi kondisi geopolitik global," ucapnya, Jumat (23/02/2024).
Menurutnya kondisi perekonomian di Inggris sedang suram, pertumbuhan ekonomi negatif. Hal yang sama juga terjadi di Eropa. Sementara di Jerman masih terjadi inflasi tinggi. Kondisi ini membuat masyarakatnya lebih mementingkan belanja barang esensial daripada komplementer. "Jadi mereka tidak belanja fashion," lanjutnya.
Kemudian terkait impor ilegal, Timotius mengatakan industri tekstil Indonesia butuh proteksi. Guna membendung barang-barang yang datang dari Tiongkok dan negara lain yang tidak dibutuhkan. Sehingga membuat produk tekstil di Indonesia menjadi tidak kompetitif.
Lebih lanjut dia bercerita sebelumnya menggelar rapat dengan APKB [Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat], secara teori menyebutkan akan ada pertumbuhan permintaan 10-15%. Tapi proyeksi ini belum tentu terealisasi jika kondisi geopolitik masih belum menguntungkan.
BACA JUGA: Industri Tekstil DIY Kian Terpuruk, Ini Saran Pakar Ekonomi
Selain peperangan tahun ini juga banyak negara yang menggelar Pemilu. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan karena ada ketidakpastian global.
Lalu Uni Eropa pada 2030 juga akan menerapkan regulasi tekstil, produk tekstil harus menggunakan listrik non fosil dan non batubara. Namun menggunakan energi baru terbarukan (EBT).
"Harus gunakan listrik basisnya non fossil fuel, non coal harus EBT 2030. Ini yang kemarin jadi hal-hal yang kami sikapi, kami harus siap dengan aturan Uni Eropa kalau mau ekspor ke Uni Eropa," lanjutnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Herum Fajarwati mengatakan ekspor keluar negeri untuk barang hasil industri seperti kulit, pakaian, barang rajutan memang turun, namun ekspor keluar provinsi DIY masih tinggi.
"Keluar negeri turun ekspor kami secara keseluruhan, tapi kalau keluar provinsi ekspor kami masih tumbuh dengan positif," ungkapnya.
Menurutnya ekspor keluar negeri turun karena kondisi ekonomi global, seperti perang dan faktor lain. Menyebabkan permintaan dari luar negeri turun. "Tapi justru permintaan domestik berjalan, dengan wisata yang mulai pulih misal DIY ke Bali, DIY ke provinsi lain meningkat."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Upah Minimum Naik, Industri Tekstil Waspadai PHK dan Otomatisasi
- Harga Emas Antam Naik Rp11.000, Kini Rp2.502.000 per Gram
- KSPI Perkirakan Kenaikan UMP 2026 Hanya 4-6 Persen
- Penundaan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Dinilai Tepat
- Promo Libur Nataru Pertamina: BBM, Bright Gas, dan Hotel Patra Jasa
Advertisement
KRL Solo-Jogja Selasa 23 Desember 2025, Cek Jam Berangkat
Advertisement
Jepang Naikkan Biaya Visa dan Pajak Turis untuk Atasi Overtourism
Advertisement
Berita Populer
- Harga Emas Pegadaian Hari Ini Stabil, UBS & Galeri24
- Harga Cabai Rawit dan Bawang Merah Nasional Turun
- Harga BBM Pertamina hingga Shell Stabil Jelang Nataru
- Samsung Biologics Akuisisi Pabrik Obat GSK US$280 Juta
- Harga Emas Antam Naik Rp11.000, Kini Rp2.502.000 per Gram
- Viral Roti O Tolak Pembayaran Tunai, Ini Aturan Tegas BI
- Upah Minimum Naik, Industri Tekstil Waspadai PHK dan Otomatisasi
Advertisement
Advertisement



