Industri Tekstil DIY Kian Terpuruk, Ini Saran Pakar Ekonomi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Industri tekstil DIY saat ini sedang terpuruk, dampak dari kondisi global dan kondisi pasar domestik yang kian sulit. Atas kondisi ini Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y. Sri Susilo memberikan beberapa saran kepada pemerintah agar sektor industri ini bisa bertahan.
Dia mengatakan pasar domestik harus diselamatkan melalui pembatasan impor, sehingga impor tidak bebas sebebasnya. Opsi lainnya dengan menaikkan tarif, namun harus dikaji terlebih dahulu plus dan minusnya. Kemudian memberikan insentif seperti pengurangan pajak dan lainnya.
Advertisement
"Kalau darurat untuk penyelamatan layak dipertimbangkan pembatasan kuota. Menaikkan tarif masuk dan larangan tegas pada produk pakaian bekas," ucapnya, Senin (20/11/2023).
BACA JUGA : Cegah PHK di Industri Tekstil, Disnakertrans DIY Dorong Komunikasi Bipartit
Menurutnya ada dua sebab turunnya pasar domestik untuk industri tekstil. Pertama permintaan memang turun karena masyarakat lebih memilih untuk belanja keperluan lain. Kedua produk domestik kalah saing dengan produk impor yang belum dibatasi, dan semakin terpuruk dengan banyaknya pakaian bekas.
Banyak masyarakat tertarik membeli pakaian bekas, sebab dengan harga yang jauh lebih murah, bisa mendapatkan pakaian bermerek. Dari harga jutaan menjadi harga ratusan ribu. Bagaimanapun konsumen tidak bisa dihalangi untuk memilih produk yang mau dibeli.
"Inilah yang menjadi tekanan berat bagi produsen tekstil, memang untuk DIY kondisinya belum separah dibandingkan Jabar [Jawa Barat], sejak akhir tahun lalu sudah banyak PHK. Kita [DIY] memang belum ada PHK berlebihan tapi dengan strategi mengurangi jam kerja, dan lainnya."
Sementara untuk pasar ekspor pemerintah harus membantu industri tekstil mencari pasar non tradisional. Misalnya ke Afrika Tengah, Selatan, Amerika Selatan, Amerika Latin, dan lainnya yang masih belum tersentuh.
"Pemerintah Indonesia harus membantu pengusaha tekstil TPT [industri tekstil dan produk tekstil] mencari pasar non tradisional. Pasar tradisional baru ke Eropa, Amerika, dan Asia," ucapnya.
Menurutnya pasar ekspor sejak akhir tahun lalu permintaannya turun berkaitan dengan adanya isu pangan, energi, dan lainnya, sehingga pakaian tidak lagi jadi prioritas utama konsumen. Mereka lebih memilih untuk menyimpan uangnya.
"Duitnya ditabung, karena suku bunga di luar negeri tinggi, lebih tertarik menabung daripada konsumsi, dampaknya ekspor produk kita turun."
Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Iwan Susanto mengatakan setelah perang Rusia-Ukraina, kondisi saat ini diperparah dengan perang Israel-Palestina. Perusahaan tekstil orientasi ekspor kapasitasnya sudah turun sekitar 40% kini tinggal 50%-60%.
Berbagai metode untuk bertahan telah dilakukan mulai dari pengurangan produksi, mengurangi jam kerja, dan lainnya. Bahkan ada perusahaan yang operasinya sudah turun hingga 30%, mereka sudah mengurangi hari kerja dan karyawan.
Pengusaha mulanya ingin mengandalkan market lokal setelah global tidak bisa diandalkan. Namun kenyataannya saat perusahaan orientasi ekspor mau masuk ke pasar lokal, yang terjadi pasar domestik diserbu impor ilegal.
"Market orientasi lokal pun sekarang ini situasinya juga memprihatinkan sekali, berjalan 50%-60%, bahkan ada yang 30% ada dan ada juga perusahaan yang kapasitas untuk bayar gaji saja sudah gak bisa, listrik dua bulan berhenti, dan BPJS gak bisa bayar, ini terjadi di kondisi lokal," ucapnya beberapa hari lalu.
Pengusaha merasakan kondisi saat ini masih memburuk, arus kas perusahaan sudah makin berbahaya. Lalu berdasarkan survei anggota, ada ada 1.500 karyawan yang di PHK, baik resmi atau kontrak tidak diperpanjang.
"Pengurangan sudah hampir 1.500, bahkan lebih. Situasi ini tentunya saya berharap pemerintah bisa lebih bijak bagaimana menyikapi, bagaimana tahun depan dengan kenaikan UMR dan lain sebagainya," jelasnya.
BACA JUGA : Industri Tekstil Terpuruk, Ini Upaya Pemda DIY untuk Cegah PHK
Menurutnya yang dibutuhkan oleh perusahaan saat ini adalah menekan biaya-biaya yang cukup membebani. Seperti listrik, perizinan, hingga perpajakan. Dia berharap ada pelonggaran. Pengusaha juga berharap pemerintah mengatasi impor ilegal yang sangat mengganggu pasar lokal.
"Pemerintah harus waspada dengan kondisi yang terjadi sekarang, ketika membuat kebijakan. Jadi begitu yang terjadi di sektor kami. Bahkan kami berharap dari perbankan dengan melihat kondisi sekarang. Perusahaan saat ini sedang butuh support besar dari pemerintah, dan bagaimana kami dengan karyawan sendiri bisa harmonis, mengatasi situasi yang ada sekarang," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Ribuan Orang Teken Petisi Tolak PPN 12 Persen
- Harga Emas Antam Hari Ini 20 November Naik Signifikan, Rp1.498 Juta per Gram
- Garuda Indonesia Dukung Rencana Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat
- Dampak Aksi Boikot 47 Gerai KFC Tutup, 17 Restoran Pizza Hut Berhenti Beroperasi
- Harga Emas Antam Hari Ini 18 November 2024 Naik Signifikan, Rp1.476 Juta per Gram.
Advertisement
Dinkes DIY Peringati HKN sekaligus Kampanyekan Pencegahan Stunting lewat Fun Run 5K
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ketimbang Kenaikan PPN, Ekonom Sarankan Pemerintah Bidik Kalangan Super Rich
- Mengenal Galeri 24, Anak Perusahaan Pegadaian untuk Investasi Emas
- Harga MinyaKita Melambung hingga Rp18.000, Kemendag Segera Panggil Distributor
- GATF Kembali Digelar di Jakarta, Hadirkan Lebih dari 500 Ribu Kursi dengan Harga Terjangkau
- Menko Bidang Pangan Sebut Ada Rencana Setop Impor Beras Tahun Depan
- OJK: KUR Tidak Termasuk Utang Macet yang Bisa Dihapus
- Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Capai 4,7 hingga 4,9 Persen di 2025
Advertisement
Advertisement