Advertisement
CEO BENTANG PUSTAKA : Tangkap Gagasan Perubahan Zaman

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Menjabat sebagai CEO PT Bentang Pustaka, salah satu penerbitan terbesar di Jogja, sejak 2009 membuat Salman Faridi fasih berbicara tentang perkembangan salah satu lini industri kreatif ini.
Menjadi sebuah keberuntungan bagi Harian Jogja bisa bertemu dengannya di sela-sela jadwal yang padat. Bagaimana tidak, Salman harus menyelesaikan rapat bersama tim pemasaran sebelum mengambil jeda, duduk mengobrol barang satu jam tentang tantangan-tantangan yang dihadapi dunia perbukuan dewasa ini. Setelah itu, ia harus bergegas ke bandara untuk pergi menuju Ibukota.
Advertisement
"Industri cetak [termasuk buku] sudah lama diramalkan mati. Namun saya rasa ada yang keliru dari ramalan itu, ternyata kematian industri cetak ini tidak secepat yang dibayangkan. Adanya teknologi tak lantas mensubstitusi cetak, ada suatu masa ketika mereka bisa berjalan beriringan. Ada koeksistensi," ucapnya mengawali obrolan, beberapa waktu lalu.
Salman memprediksi penerbitan buku jadi salah satu lini industri cetak yang bertahan paling lama dibandingkan lini lainnya, meskipun ia mengakui tak tahu pasti sampai kapan. Pasalnya moda industri buku berbeda dengan surat kabar yang lebih dulu terkena imbas gempuran teknologi dunia daring. Moda produksi buku, menurut Salman, lebih butuh waktu dibandingkan lini industri cetak lainnya. Untuk menghasilkan sebuah buku, penulis butuh waktu yang tidak singkat. Bahkan beberapa penulis butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk riset materi penulisannya sebelum memulai kalimat pertama. Belum lagi proses kurasi yang juga membutuhkan waktu. Secara konten, buku bukan merupakan produk yang harus dikeluarkan segera. Maka sifatnya pun lebih timeless.
Sedangkan surat kabar ataupun majalah yang bertumbangan lebih dahulu, moda produksinya lebih cepat. Terutama surat kabar yang menyajikan peristiwa pada hari sebelumnya. Namun Salman menyebut industri perbukuan pun tak luput terusik teknologi. Melalui platform wattpad, ada begitu banyak penulis yang tak terdengar gaungnya di dunia penulisan cetak, punya basis readership yang begitu besar. Bahkan setiap konten yang mereka buat melalui platform tersebut, selalu ditunggu-tunggu oleh para pembacanya. Mereka mampu menciptakan engagement, hal yang selama ini selalu kesulitan dilakukan oleh sisi pemasaran industri cetak lainnya.
"Saya cukup heran ketika tahu para penulis ini merupakan para remaja yang punya akses penuh terhadap teknologi. Bahkan 98 persen pembacanya mengakses konten mereka lewat mobile. Artinya mereka ini sambil nunggu bus atau makan bakso bisa menulis konten, begitu pun dengan pembacanya. Mereka merupakan generasi penulis yang berbeda dengan moda produksi yang berbeda pula. Ini menarik," ucap Salman.
Inovasi untuk Bertahan
Industri yang berubah ini, menurutnya jadi tantangan tersendiri bagi para penerbit untuk berinovasi. Melihat perkembangan teknologi yang makin pesat seperti saat ini, mau tak mau pelaku industri cetak harus bisa menangkap gagasan tersebut. Jika tidak, industri perbukuan bisa tergulung oleh zaman. Pasalnya di era yang serba canggih ini, para pembajak pun makin lihai menggandakan sebuah buku dan menjualnya dengan harga murah. Bahkan Salman menyebut mereka tak segan-segan untuk memotret halaman (screenshoot) buku digital untuk mendapatkan berkas agar dapat dibajak. Padahal dengan begitu, ada begitu banyak pihak yang dirugikan. Baik penerbit, penulis, maupun distributor tidak bisa mendapatkan haknya.
Oleh sebab itu, pada penerbitan terbaru buku Dee Lestari, ia mengaku Bentang Pustaka melakukan cara-cara baru. Yaitu melalui platform buku digital yang memungkinkan penulis dibayar bahkan sebelum buku tersebut terbit dalam bentuk hardcopy. Ia juga mengaku terus memgembangkan community based marketing yang fokus pada kelompok-kelompok kecil tetapi punya enggagement yang besar. Salman mencontohkan untuk menerbitkan buku tentang resep memasak, ia akan menggandeng kaum ibu yang notabene suka memasak dan memegang cashflow keluarga. Belum lagi mereka biasanya juga punya jejaring yang kuat dan jadi influencer bagi anggota di komunitasnya.
Cara-cara seperti itu, menurutnya kini banyak diadopsi oleh merek-merek ternama di seluruh dunia. Sebab investasi sebuah brand terhadap komunitas jauh lebih murah dan terfokus dibandingkan harus berinvestasi pada jalur massa. "Dengan perubahan teknologi, tak hanya model bisnis yang berubah tetapi juga pemasaran. Dahulu jika bicara produksi, kita akan terpaku pada mass product, community based marketing pun jadi konsep yang dipertanyakan. Sekarang? Sudah beda," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Harga BBM Non Subsidi di Jogja Naik per Juli 2025, Pertamax Kini Rp12.500 per Liter
- Semarakkan Solo Raya Great Sale 2025, Ada Diskon Tarif Kereta Api 10 Persen, Ini Daftarnya
- Penuhi Syarat Keselamatan Terbang, Garuda Indonesia Buka Lagi Rute Jakarta-Doha
- Kecurangan Beras Rugikan Konsumen Rp99,35 Triliun harus Ditindak
- Harga Bawang Merah Masih Tinggi di Level Rp42.528 per Kilogram
Advertisement

Kelurahan Kadipaten Jogja Gencarkan Penggunaan Biopori Demi Kurangi Sampah Organik
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Permudah Perizinan Usaha, Pemerintah Terbitkan PP 28/2025 dan Wajibkan Semua K/L Masuk OSS-RBA
- Ada Potensi Kecurangan Beras Subsidi Oplosan Dikomersialkan, Kerugian Negara Tembus Rp100 Triliun
- Tarif Ojek Online Bakal Naik hingga 15 Persen Sesuai Zona, Begini Penjelasannya
- Kemendag Mencabut Empat Aturan untuk Mempermudah Izin Usaha, Ini Daftarnya
- Mulai Hari Ini! Marhen J Toko Tas Ala Idol Korea Menutup Semua Gerai di Indonesia
- Kementerian ESDM Distribusikan 3,49 Juta Ton LPG, Masih Ada Stok 4,68 Juta Ton
- Apindo DIY Dukung Penarikan Pajak E-commerce, Beri Usulan Insentif Gratis Ongkir
Advertisement
Advertisement