Advertisement

Ekonom UGM Dukung Pajak E-commerce, Ciptakan Keadilan Pengusaha Daring dan Luring

Anisatul Umah
Selasa, 01 Juli 2025 - 08:27 WIB
Abdul Hamied Razak
Ekonom UGM Dukung Pajak E-commerce, Ciptakan Keadilan Pengusaha Daring dan Luring Ilustrasi wajib pajak / Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA— Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi mendukung rencana pemerintah menarik pajak e-commerce. Menurutnya kebijakan ini selaras dengan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan.

Ia menjelaskan mekanisme pemungutan akan melibatkan marketplace sebagai pihak yang ditunjuk untuk memungut dan menyetorkan PPh Pasal 22 dari para penjual. Skema ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan yang lebih proporsional, sekaligus memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata.

Advertisement

"Kebijakan ini selaras dengan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan dan bertujuan menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring," ungkapnya, Senin (30/6/2025).

BACA JUGA: Apindo DIY Dukung Penarikan Pajak E-commerce, Beri Usulan Insentif Gratis Ongkir

Meski demikian dia menyebut penerapannya perlu diiringi dengan komunikasi dan edukasi yang baik kepada para penjual di marketplace. Sebab banyak dari mereka yang telah menghadapi potongan biaya dari platform itu sendiri, dan kini akan menghadapi tambahan beban berupa pajak yang dikenakan atas omzet kotor, bukan margin atau laba bersih.

Dia mengatakan kebijakan ini berpotensi menimbulkan resistensi dan dampak regresif, terutama bagi penjual kecil dengan margin usaha yang tipis. Oleh karena itu, sosialisasi sejak dini menjadi sangat penting, agar kebijakan ini lebih bisa diterima dan berjalan efektif.

Lebih lanjut dia mengatakan besaran tarif 0,5% dari omzet yang akan dikenakan kepada penjual e-commerce dengan pendapatan tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar sudah cukup ideal. Mengacu pada skema PPh Final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

Tarif ini relatif ringan dan memberikan kepastian hukum serta kemudahan administrasi bagi pelaku usaha, terutama UMKM. Sementara itu, pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun kena pajak ini, sehingga tetap diberi ruang untuk tumbuh tanpa beban fiskal tambahan.

Menurutnya pendekatan ini mencerminkan semangat keberpihakan terhadap usaha kecil agar tetap bisa tumbuh serta menjaga prinsip proporsionalitas dalam kewajiban perpajakan. "Perlu diingat bahwa menurut data BPS sebagian besar pelaku usaha e-commerce (sekitar 83%) mempunyai pendapatan kurang dari Rp300 juta," jelasnya.

Meski demikian, di lapangan tetap akan ada potensi penjual kurang senang jika pemungutan dilakukan langsung oleh marketplace, dan ada pula yang merasa lebih nyaman untuk menyetor pajaknya secara mandiri.

Rijadh menyebut respons seperti ini wajar, terutama jika belum ada pemahaman menyeluruh mengenai mekanisme dan manfaat kebijakan ini. Pemerintah perlu aktif melakukan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan penerimaan atas tarif yang dikenakan nantinya.

Dampak ke Bisnis E-Commerce

Sesuai dengan skema yang direncanakan, di mana platform e-commerce bertanggung jawab untuk menghitung, memungut, dan menyetorkan pajak penjual, maka dari sisi teknis ini justru menjadi lebih efisien.

Ia menyampaikan praktik ini akan menyederhanakan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha, terutama UMKM. Sebab mereka tidak perlu lagi melakukan perhitungan dan pelaporan secara mandiri.

Akan tetapi yang perlu dipahami adalah pajak ini dikenakan atas omzet penjual, bukan atas produk yang dijual. Berbeda dengan PPN yang dibebankan ke konsumen. Sehingga penjual harus berhati-hati dalam menyusun strategi harga. Jika mereka menaikkan harga untuk menutup pajak, ada risiko produk mereka menjadi kurang kompetitif di pasar.

"Oleh karena itu, pemahaman atas struktur biaya dan margin menjadi penting agar penjual tetap bisa bersaing secara sehat tanpa melanggar kewajiban perpajakan," tuturnya.

Wacana mengenai penerapan pajak e-commerce memang sudah muncul sejak lama, bahkan pada 2019 sempat dirumuskan dalam kebijakan yang akhirnya dibatalkan karena mendapat penolakan dari sebagian pelaku usaha. Meski sudah lama diwacanakan, ia tidak melihat hal tersebut sebagai bentuk keterlambatan, melainkan sebagai bagian dari proses persiapan dan penyesuaian terhadap dinamika yang ada.

Pemerintah, kata Rijadh, tengah membaca situasi secara cermat, termasuk mempertimbangkan kesiapan infrastruktur digital, tingkat kesiapan pelaku usaha, serta kondisi ekonomi pasca pandemi. Selain itu, perlu disadari bahwa e-commerce saat ini merupakan salah satu sektor dengan pertumbuhan paling pesat di Indonesia, dan sudah menjadi bagian penting dalam ekosistem ekonomi nasional.

"Penerapan pajak justru menjadi relevan sekarang, ketika struktur pasar lebih mapan, teknologi platform sudah lebih siap, dan pelaku usaha pun semakin variatif dalam skala dan model bisnisnya," jelasnya.

Melansir dari JIBI/Bisnis.com, Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rosmauli menyebut kebijakan ini didasari tugas pemerintah untuk menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku UMKM yang berjualan secara daring dan UMKM yang berjualan secara luring.

"Saat ini, rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap pembahasan," ujarnya.

Hanya saja, Kementerian Keuangan belum memastikan kapan aturan baru tersebut akan berlaku. Rosmauli meminta setiap pihak bersabar karena pemerintah akan memberikan penjelasan lebih lanjut usai aturan resminya terbit. "Kapan berlakunya nanti akan diatur oleh ketentuan tersebut," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Pelunasan PBB-P2 Triwulan Kedua di Bantul Sudah Terkumpul Rp43,7 Miliar

Bantul
| Selasa, 01 Juli 2025, 13:57 WIB

Advertisement

alt

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah

Wisata
| Senin, 30 Juni 2025, 06:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement