Advertisement

Masa Depan Industri Sawit Masih Cerah

Pandu Gumilar
Sabtu, 30 Maret 2019 - 14:17 WIB
Budi Cahyana
Masa Depan Industri Sawit Masih Cerah Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018). - JIBI/Bisnis Indonesia/Rachman

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA — Pelaku industri kelapa sawit di Tanah Air masih optmisitis bisnis minyak nabati tersebut masih akan bertumbuh kendati sering mendapatkan serangan atau kampanye negatif dari pihak lain.

Sebagai contoh, Indonesia dan India tengah berunding agar negara Asia Selatan itu mendapatkan insentif harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) dari Indonesia.

Advertisement

Direktur Keuangan PT Austindo Nusantara Jaya TBK. (ANJT) Lucas Kurniawan mengatakan bahwa sampai dengan saat ini prospek industri minyak sawit terkesan tidak bagus akibat kerap diserang kampanye negatif dari negara lain. Fluktuasi harga CPO dalam 2 tahun terakhir, katanya, juga menekan industri sawit.

"Namun, hal ini perlu dilihat secara holistik, memang gejolak harga ada kontribusi dari [perseteruan] dengan Uni Eropa. Secara global ada penurunan [pertumbuhan] ekonomi [penyebab penurunan harga]," katanya pada diskusi International Conference and Expo on Indonesian Sustainable Palm Oil, Kamis (28/3/2019).

Selain itu, Lucas pun mengakui terdapat kelebihan suplai minyak sawit yang berlimpah dibandingkan dengan permintaan. Belum lagi perang dagang antara Amerika Serikat dan China menambah jumlah minyak nabati yang berkeliaran.

Kendati sering menghadapi kondisi ketidakpastian pasar, Lucas tetap optimistis bahwa industri sawit masih memiliki potensi yang besar. Tapi hal tersebut perlu dukungan dari semua pihak.

"Dalam konteks investasi kelapa sawit tetap berpotensi yang harus dijaga dan dikembangkan terutama sebagai sektor komoditas unggulan. Jangan sampai ini seperti karet [yang sedang turun]," katanya.

Menurutnya, dari segi pasar, meskipun Uni Eropa terlihat besar, tetapi pasarnya terdiri atas beberapa negara yang tergabung di kawasan tersebut. Sementara itu, kalau dirinci lebih detail, pasar yang menyerap minyak sawit dengan masif adalah Indonesia, China, India dan negara di sekitarnya. Oleh karena itu, masih ada potensi untuk industri sawit untuk berkembang selama pangsa pasar terus diperkuat dan dikembangkan.

"Apalagi langkah pemerintah B20, B30 [bauran 30% biodiesel dan Solar] dan sampai 100% bahan bakar nabati menggunakan minyak sawit. Kalau sudah menuju ke sana, meskipun ada dampak [dari kampanye negatif] secara pasar tetap bisa menyerap produksi nasional. Sekarang tinggal penggunaan biodiesel sebagai pasar alternatif terus didorong ke negara Asia lainnya," katanya.

Lucas menjelaskan, produktivitas dan efisiensi produksi minyak sawit tidak akan bisa dikejar oleh minyak nabati jenis lainnya. Oleh karena itu, kampanye negatif Uni Eropa perlu ditinjau ulang dari berbagai sisi.

Jika melihat ke belakang, industri kelapa sawit tidak sepenuhnya baik. Namun, beberapa tahun terakhir pemerintah sudah melakukan pembenahan dan pelaku industri telah menerapkan praktik berkelanjutan.

"Dari perspektif keberlanjutan tantangan terbesar adalah melakukannya di perkebunan rakyat karena di situ [perkebunan rakyat] isu terbesar. Apabila dulunya membuka di areal kawasan bagaimana tindakan pemerintah berikutnya? Kita harus cukup seimbang antara serifikasi dan konflik sosial," katanya.

Penghiliran

Secara terpisah, yaitu pada saat berkunjung ke redaksi Bisnis Indonesia, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Moekti Sardjono mengatakan industri minyak sawit memang masih menjanjikan. Nilai tambah dalam penghiliran CPO masih terbuka lebar.

"Mungkin untuk on farm [budi daya] tidak menarik, tetapi untuk industri pengolahan masih menjanjikan," katanya, Kamis (28/3).

Salah satu penyebab industri hulu tidak menarik adalah karena pemerintah memberlakukan moratorium. Artinya, tidak ada penambahan atau pembukaan lahan kebun sawit baru sampai dengan 2021. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, total kebun sawit nasional seluas 14 juta hektare.

Mukti belum tahu setelah moratorium berakhir, akan ada perluasan kebun sawit atau tidak. Produksi sawit masih bisa dinaikkan tanpa harus menambah luas lahan, yaitu melalui intensifikasi.

Para anggota Gapki yang berjumlah 700 perusahaan berkomitmen untuk memperbaiki kinerja produktivitas.

Produktivitas perkebunan sawit rakyat masih rendah, yaitu hanya 2,5 ton per ha, setengah dari produktivitas kebun swasta sebanyak 5 ton per ha. "Kalau produktivitas rata-rata nasional bisa 4 ton per ha, produksi nasional bisa 60 juta ton per tahun. Itu tambahan yang luar biasa. Fokus kami adalah mengintensifikasi dan meningkatkan kinerja sawit rakyat," katanya.

Dari sisi pasar untuk makanan, Mukti menjelaskan peluang konsumsi minyak sawit di tingkat internasional pun besar. Pasalnya, lembaga Food & Drugs Amerika Serikat memutuskan tidak boleh lagi memakai trans fat dalam makanan sejak 2018. Minyak nabati yang bebas trans fat hanya minyak kelapa dan minyak sawit.

Dari sisi pasar energi, penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar dan tenaga pembangkit pun diperluas. Misalnya, implementasi B30, uji coba pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan kilang minyak bahan bakar nabati oleh PT Pertamina (Persero). "Pada 2019 ini setidaknya ada tambahan serapan 2 juta ton berkat B20. Selain itu, pasar tradisional seperti India harus tetap dijaga. Tapi kalau mau perluasan seperti Afrika, pemerintah perlu melonggarkan tarif pajak ekspor. Di sana [Afrika] tidak punya pengolahan jadi dari sini kirim bentuk kemasan," katanya.

Selain itu, Gapki juga sedang bernegosiasi dengan asosiasi pengguna minyak sawit di India untuk memberikan insentif lebih untuk produk yang bersertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Kami telah melakukan pertemuan di Medan terkait pemberian insentif. Selama ini tarif impor [bea masuk ke India] antara Indonesia dan Malaysia berbeda. Kita lebih tinggi. Kami maunya itu setara," katanya.

Sementara itu, Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat menambahkan bahwa pihaknya sudah mengadakan Joint Working Group antara Indonesia dan India yang meliputi berbagai asosiasi.

"Mereka [asosiasi dari India] akan mengusulkan pemberian insentif bagi para pemegang sertifikat berupa pengurangan bea masuk kepada pemerintahnya. Sekarang ini bea masuk ke India 40%, jadi yang punya sertifikat ISPO ada pengurangan. Kemarin baru diskusi tinggal usul ke masing-masing pemerintah," katanya.

Setelah usulan tersebut diterima, kementerian terkait beserta kedutaan melakukan negosiasi melalui jalur diplomasi. Setidaknya antara pelaku usaha dan asosiasi kedua negara telah berupaya membuka akses pasar. "Mereka pun mau bantu kampanye promosi ISPO di India lewat media massa, tetapi masih kami diskusikan lebih lanjut.”

- Peluang industri sawit masih besar di sektor hilir, yaitu pengolahan, sedangkan sektor hulu atau budi daya sudah dimoratorium.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Kirab Pengantin Tebu di Pabrik Gula Madukismo

Bantul
| Selasa, 23 April 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement