Advertisement

Promo November

Rasane Vera, Menghijaukan Gunungkidul dengan Lidah Buaya

Sirojul Khafid
Sabtu, 27 April 2024 - 11:17 WIB
Ujang Hasanudin
Rasane Vera, Menghijaukan Gunungkidul dengan Lidah Buaya Sumarni saat menunjukkan produk dari olahan lidah buaya di rumahnya, Gunungkidul, Kamis (18/4/2024). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Rasane Vera memadukan jenis tanaman yang cocok di Gunungkidul dengan inovasi pengolahan lidah buaya. Inovasi ini kemudian membawa manfaat bagi warga sekitarnya.

Sekitar tahun 1980-an, Sumarni mengenyam pendidikan tingkat lanjut di Gunungkidul. Hari ini, masyarakat Gunungkidul yang belajar di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) nampak wajar saja. Namun berbeda dengan puluhan tahun lalu. Sumarni menjadi sedikit orang yang bisa menyelesaikan SLTA, di saat teman-temannya sekolah dasar pun belum tentu lulus.

Advertisement

Orang tua Sumarni mendukung anak perempuannya untuk bisa sekolah tinggi. Sebuah kemewahan sekaligus perlu kerja keras. Setiap harinya, dengan sepeda ontel, Sumarni perlu berangkat dari rumahnya di Kecamatan Nglipar ke Bawen. Meski kedua kecamatan tersebut bersebelahan, namun jaraknya cukup jauh.

Belum lagi saat musim penghujan dan ada beberapa bagian jalan yang becek, sepeda harus dipanggul. Untungnya beberapa teman laki-laki Sumarni mau membantu membawakan sepadanya. Keberuntungan yang sedikit demi sedikit menanamkan cita-cita dalam benak Sumarni. “Saya bertekad pengen bermanfaat untuk masyarakat ke depannya,” kata Sumarni, saat ditemui di rumahnya di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Kamis (18/4/2024).

Setelah lulus SLTA tahun 1986, Sumarni sempat ke Jakarta. Dia pulang lagi ke Gunungkidul lantaran ibunya sakit. Anaknya masih di Jakarta. Perjalanan membawa Sumarni dan anaknya, Alan Effendi, bekerja di tempat tinggal masing-masing. Sumarni mengolah sawah keluarga, menanam padi, jagung, dan tanaman hortikultura lainnya. Alan bekerja sembari kuliah di Jakarta.

Suatu hari di tahun 2014, Alan terpikir untuk membuat usaha yang bisa menjadi tumpuan perekonomian keluarga di masa depan. Unsur utamanya tetap di pertanian, namun perlu ada pengolahan dari hasil panen. Dari semua jenis tanaman, Alan memilih aloe vera. Dibanding tanaman jenis lain, aloe vera atau lidah buaya dianggap lebih mudah dirawat. Tanaman ‘gurun’ itu juga cocok dengan Gunungkidul yang kering dan seringkali bercuaca panas.

Meski tidak mendapat air, aloe vera bisa bertahan dan tidak mati. Meski setahun tidak mendapat air, aloe vera tetap bisa hidup. Bentuknya hanya terlihat mengempis dan seperti kering. Namun misal mendapat air siraman atau hujan, batang aloe vera bisa gemuk lagi.

Sekali tanam, aloe vera bisa bertahan lama. Tidak perlu mengganti bibit setiap kali panen. Sistemnya mirip dengan pohon buah. Hama aloe vera juga tidak banyak. Misalpun ada hama seperti bekicot, tidak menyerang semua tanaman, hanya satu dua saja. Berbeda dengan tanaman padi yang semisal ada hama tikus, maka yang terdampak bisa banyak tanamannya.

“Mas Alan kemudian membeli 500 bibit, saya yang ngerawat. Anak saya masih tinggal di Jakarta,” katanya. “Tapi bibit aloe vera sempat rusak separuhnya, karena lahan untuk menanam jauh dari rumah.”

Penanaman berpindah ke lahan produktif dekat rumah. Sehingga pemantauan dan perawatan bisa lebih inten. Agar pertumbuhan bibit aloe vera lebih maksimal, penyiraman juga semakin rutin, lantaran sudah dekat rumah. Sekitar 250 bibit lidah buaya berjenis aloe chinensis baker itu bertumbuh perlahan. Setidaknya perlu waktu setahun sampai bisa dipanen.

Menanam lidah buaya dalam skala besar masih cukup aneh di Gunungkidul saat-saat itu. Setiap kali tetangga melintas, kebun milik Sumarni selalu menjadi tontonan. Bahkan tidak jarang pula yang mempertanyakan sampai menertawakan. Banyak yang meragukan potensi lidah buaya, dibanding tanaman lain seperti padi atau jagung.

Belum ada contoh petani lidah buaya yang berhasil di Gunungkidul. Sehingga anggapan itu sangat mungkin muncul. Pandangan-pandangan meragukan sempat membuat Sumarni kendur semangatnya dalam merawat lidah buaya.

Omongan tetangga lantaran sawah bagus dan produktif tapi tidak digarap, justru ditanami lidah buaya dengan jumlah banyak. “Emang mau nggudek (makan) lidah buaya? Saya telepon Alan, dia bilang jangan didengerin, kadang kendor, tugasnya ibu merawat, ke depan aku yang akan mengolah, enggak jual bahan mentah. Kisah ini misal dibikin film mungkin asyik banget,” kata Sumarni.

Alan Pulang ke Gunungkidul

Dua tahun penanaman lidah buaya milik Sumarni dan Alan sudah berjalan. Daging lidah buaya sudah besar dan tebal. Banyak juga yang sudah memunculkan tunas baru. Stok bahan baku tersedia cukup banyak.

Tahun 2016, Alan pulang dari Jakarta ke Gunungkidul. Seperti janjinya, kini saat yang tepat untuk mengolah lidah buaya menjadi produk yang nilainya lebih tinggi. Alan sempat terpikir membuat kue dari lidah buaya, mirip seperti kue dari bahan talas Bogor. Namun melihat lingkungan sekitar, jarang orang-orang yang membeli kue secara rutin. Di samping itu, Sumarni juga kurang begitu suka membuat kue. Prosesnya lama dan kompleks. Belum lagi modalnya cukup besar.

Muncullah ide untuk membuat minuman berbahan lidah buaya. “Ternyata seger banget, kandungan gizinya juga tinggi. Awal-awal sehari bikin sekitar 100 cup, dititipin pedagang yang keliling ke pasar, baru sampai pasar ternyata langsung abis,” kata perempuan berusia 57 tahun ini.

Minat konsumen yang tinggi memunculkan optimisme dalam benak Sumarni dan Alan. Produksi semakin konsisten, dengan alat ala kadarnya. Sayangnya, tidak semua produk ‘selamat’ dalam penjualan. Pengemasan masih belum sempurna. Daya tahan minuman lidah buaya juga hanya beberapa hari saja. Tidak jarang Sumarni dan Alan mendapatkan return produk.

Barulah agar produk minuman lidah buaya dalam naungan brand Rasane Vera ini semakin tahan lama, Sumarni dan Alan mengikuti pendampingan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pendampingan hampir berjalan setahun lamanya. Hasilnya menggembirakan. Minuman kemasan dari Rasane Vera bisa bertahan antara 4 sampai 6 bulan.

Produksi minuman lidah buaya semakin rutin dan bertambah kapasitasnya. Kebutuhan bahan baku semakin banyak. Bersama pihak swasta, Sumarni dan Alan membagikan bibit lidah buaya kepada 100 tetangganya. Masing-masing mendapat 50 bibit secara gratis. Rencananya, saat bibit itu sudah besar, para tetangga akan memasok bahan baku ke produksi Sumarni.

Setahun berselang, lidah buaya milik komunitas yang kemudian bernama Kelompok Wanita Tani (KWT) Mount Vera Sejati, sudah siap panen. Di saat yang hampir bersamaan, datang orang yang sepertinya punya modal besar. Dia awalnya datang ke Sumarni, selaku ketua KWT Mount Vera Sejati.

Orang itu hendak membeli lidah buaya baik yang bibit maupun sudah besar. Sumarni memberikan harga untuk yang kecil sekitar Rp30.000 sampai Rp40.000. Orang yang datang itu sempat menggoda Sumarni apabila semua bisa dia beli, maka Sumarni bisa mendapatkan banyak uang, untuk nantinya bisa membeli sapi.

“Ternyata ketika dia keluar, dia langsung ke anggota KWT Mount Vera Sejati. Mungkin anggota kurang ngerti atau gimana, bibit lidah buaya dijual Rp15.000. Wah kacau, dengan harga murah, yang udah dirawat setahun,” kata Sumarni.

Sudahlah dia tidak mendapat stok untuk bahan baku, pembelian dari orang asing itu juga murah. Padahal semisal penjualan melalui kelompok, harganya bisa lebih besar. Satu yang paling membuat Sumarni sedih, kesepakatan untuk menyalurkan bahan baku ke Rasane Vera tidak terjadi.

Meski di sisi lain, Sumarni belum bisa menerima hasil panen 100 orang secara serentak. Namun penjualan lidah buaya kelompok tanpa koordinasi membuat alur menjadi kacau. Setiap sore ada laporan orang asing itu datang dengan kantong-kantong besar, mencabut lidah buaya para anggota KWT Mount Vera Sejati.

“Makanya kadang kalau saya sedang diwawancara [tentang usaha ini], kadang saya nangis inget perjuangan-perjuangan dulu,” katanya. “Dulu juga belum tahu cara mengelola kelompok, terbiasa dengan lingkungan Jakarta yang jarang bersosialisasi, berbeda dengan di sini. Tiba-tiba jadi ketua kelompok dengan anggota 100 orang.”

Meski sedih, Sumarni menganggap itu bagian dari perjalanan hidup. Semisal ada bibit, dia tetap memberikan pada anggota secara gratis. Apabila ada pesanan lidah buaya dari eksternal, Sumarni juga akan membaginya dengan anggota kelompok.

Bagaimanapun, dapur tetap harus mengebul. Sumarni cukup memberikan contoh apabila petani bisa mendapatkan nilai yang lebih tinggi dengan berkelompok dan mengolah hasil panennya. Tidak perlu yang terlalu banyak memberikan instruksi, tapi mencontohkan.

Belum lama produksi berjalan normal, datanglah pandemi Covid-19. Penjualan turun drastis. Minuman lidah buaya yang banyak menjadi barang tentengan wisatawan cukup terpuruk. Sangat sedikit wisatawan yang datang ke DIY.

Masyarakat sekitar Jeruklegi, tempat tinggal Sumarni, mengira apabila masa kejayaan lidah buaya sudah berakhir. “Sempet masyarakat males menanam lidah buaya, dianggap enggak laku lagi. Padahal tunggu waktu aja, tetep yakin, suatu saat akan meningkat produksi dan pesanannya,” kata Sumarni.

Bangkit dari Keterpurukan

Kegiatan masyarakat perlahan mulai berjalan normal lagi. Wisatawan mulai berdatangan lagi ke Jogja. Produk minuman berbahan lidah buaya kembali menemukan pasarnya. Produksi di Rasane Vera semakin sibuk.

Dalam sehari, saat ini produksi sekitar 1.000 cup. Saat Ramadan dan Idulfitri, produksi bisa meningkat hingga empat kali lipat. Seringnya produk dari Rasane Vera ini untuk bekal pemudik yang akan kembali ke tempat tinggalnya lagi.

Rasane Vera menyediakan minuman Nata de Aloe vera, Aloe vera Cube Drink, dan Aloe Liquid. Harga satu bungkus berisi enam cup kecil senilai Rp15.000. Tidak hanya menjual produk miliknya, Sumarni juga tidak jarang mendapat titipan produk dari tetangga berbahan lidah buaya. Ada keripik, dodol, dan lainnya.

Sumarni dan Alan juga menyediakan wisata edukasi lidah buaya. Puluhan hingga ratusan orang bisa berkunjung dalam sekali kedatangan. Mereka belajar pengolahan lidah buaya dari hulu ke hilir. Pengunjung berasal dari dalam dan luar DIY. Kunjungan ini bisa KWT Mount Vera Sejati manfaatkan untuk menjajakan produknya.

“Penjualan kebanyakan ke reseller, kebanyakan ke DIY dan Jawa Tengah,” kata Sumarni. “Produksi yang semakin besar kemudian membutuhkan modal yang juga besar. Modal termasuk untuk perlengkapan produksi dan juga mesin.”

Memasuki tahun 2019, Rasane Vera mendapatkan bantuan dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) senilai Rp48 juta. Bantuan dari program corporate social responsibility (CSR) ini untuk membeli mesin produksi, perlengkapan, dan juga pemberdayaan masyarakat.

Di samping itu, Sumarni juga mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI untuk tambahan modal usaha. Dia sempat mengakses sekitar Rp50 juta. Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan BRI sebagai mitra pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan KUR. Pada 2023, BRI Regional Office (RO) Jogja yang mencakup wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah telah menyalurkan KUR sebanyak Rp18,45 triliun dengan total 432.452 debitur. Di samping itu, ada pula penyaluran KUR Mikro sebanyak Rp16,46 triliun dengan total 424.919 debitur serta KUR Kecil sebanyak Rp1,98 triliun dengan total 7.533 debitur.

Dari total KUR di BRI RO Jogja 2023, penyaluran di sektor perdagangan sebanyak 42,2%. Sementara di sektor jasa sebanyak 23,6%, sektor pertanian 21,0%, sektor industri pengolahan 11,7%, dan sektor perikanan 1,6%. “UKM yang mendapat kredit KUR cenderung semakin maju dengan kesempatan nasabah untuk bisa naik kelas, dari kredit KUR Supermikro ke Kredit KUR Mikro, dan Kredit KUR Mikro bisa naik kelas ke Kredit KUR Kecil. Sehingga nasabah dapat terus membangun usahanya untuk berkembang lebih maju. Dan BRI senantiasa siap untuk mendukung pertumbuhan nasabah UKM,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/3/2024).

Kepala Otoritas Jasa Keuangan DIY, Parjiman, mengatakan kredit perbankan di DIY yang menyalurkan dana pada UKM cukup tinggi. Sebagai gambaran pada bulan Oktober sampai Desember 2023, secara berturut-turut persentase kredit dari perbankan untuk UKM sebesar 48,34%; 48,10%; dan 48%. “Apabila dibandingkan dengan target yang dicanangkan pemerintah pada akhir 2024, kredit UKM sebesar 30%, di DIY sudah memenuhi, bahkan lebih dari target,” kata Parjiman dalam acara Pemaparan Kinerja Keuangan Industri Jasa Keuangan DIY, di Hotel Alana, Sleman, Sabtu (23/3/2024).

Menuju Kampung Lidah Buaya

Halaman depan dan samping rumah Sumarni kini sudah hijau dengan lidah buaya. Tanaman dan tanahnya rapi dengan perawatan yang rutin. Dari pagi hingga sore, keluarga Sumarni sibuk merawat dan memproduksi olahan lidah buaya. Kesibukan semakin terlihat saat sembilan karyawan Sumarni juga silih berganti berdatangan. Semua karyawan berasal dari warga sekitar. Kebanyakan masih muda.

Ke depan, pemandangan hijaunya lidah buaya akan semakin banyak di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul. Pemerintah desa dan masyarakat hendak membuat Jeruklegi sebagai Kampung Lidah Buaya. Sehingga seluruh masyarakat setidaknya perlu menanam lidah buaya di pekarangan rumahnya.

Branding kampung berdampak baik dengan usaha Sumarni dan KWT Mount Vera Sejati. Stok bahan baku bisa semakin melimpah. Dan yang juga penting, masyarakat semakin mengenal dan bisa mengembangkan lidah buaya dalam berbagai bentuknya.

“Semoga olahan lidah buaya bisa menjadi produk unggulan Gunungkidul, syukur-syukur DIY. Semoga bisa merekrut tenaga kerja dan bermanfaat bagi masyarakat. Mudah-mudahan anak-anak muda di sini enggak usah merantau, bisa kerja di sini,” kata Sumarni.

Tidak hanya anak muda, Sumarni juga berharap peningkatan ekonomi bisa menyasar ke ibu-ibu di sekitar Jeruklegi. Dahulu, perekonomian keluarga Jeruklegi mengandalkan suami yang entah jadi petani atau buruh. Itupun kadang ada pemasukan kadang tidak.

Dengan terlibat dalam budidaya dan pengolahan lidah buaya, setidaknya ibu-ibu punya tambahan pemasukan uang. Ibu-ibu bisa menanam lidah buaya di depan rumah. “Hasilnya bisa buat uang saku anak dan nambah ekonomi keluarga. Ibu-ibu di kelompok pengajian juga bisa semakin produktif. Di samping kumpul untuk meningkatkan ilmu agama, namun juga ilmu dunia,” katanya. “Setiap doa ibu, semoga usaha ini bisa untuk kemaslahatan masyarakat, dan bisa bermanfaat untuk semua orang.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

KPH Yudanegara Minta Paguyuban Dukuh Bantul Menjaga Netralitas di Pilkada 2024

Bantul
| Jum'at, 22 November 2024, 10:27 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement