Advertisement

Promo November

Kisah Riski Usada Membuka Jasa Penitipan Barang di Jogja

Sirojul Khafid
Senin, 25 November 2024 - 09:47 WIB
Sunartono
Kisah Riski Usada Membuka Jasa Penitipan Barang di Jogja Riski Usada saat berada di gudangnya. - Harian Jogja - Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Penghuni kos tetap perlu membayar biaya secara full, meski dia tidak menempati ruangannya. Di sisi lain, pemilik kos tidak mau bayarannya berkurang, meski kosnya tidak terpakai. Di sinilah Kost Box hadir, menengahi masalah tersebut.

Usia 18 tahun menjadi awal Riski Usada belajar berbisnis. Semua kegiatan yang berpotensi menghasilkan uang, pengalaman, dan ilmu dia lakoni. Riski pernah menjadi driver ojek online selama masa gap year kuliah. Dia juga pernah mendirikan agensi tour and travel. Meski sayangnya, tidak semua usaha bisa berjalan seperti harapannya.

Advertisement

Kemunduran dalam usaha terjadi saat pandemi Covid-19, sekitar 2020. Di masa sulit tersebut, Riski sempat membantu temannya untuk membungkus barang dagangan dengan upah Rp50.000. Bukan upahnya yang penting, tapi dia melihat adanya kebutuhan ruang, yang pada konteks saat itu untuk menyimpan barang dagangan. Riski memang sudah punya dugaan akan masalah kebutuhan ruang di masyarakat, namun dia perlu semakin yakin dengan menyebarkan survei ke masyarakat.

BACA JUGA : Gerebek Kamar Indekos di Sleman, Polisi Menyita Miras Berbagai Merk

Riski yang punya rumah di tengah kota, di sekitar Demangan Baru, Caturtunggal, Depok, Sleman, memiliki peluang besar untuk menyelesaikan masalah kebutuhan ruang tersebut. “Saya survei ke teman dengan menyebar formulir, ternyata rata-rata biaya kos Rp500.000, Rp600.000 hingga Rp700.000 per bulan. Kalau orang [mau pergi terus] harus bayar kos full [agak sayang], yang punya kos juga enggak mau bayarannya dipotong [meski kosnya enggak dipakai],” kata Riski, Selasa (19/11/2024).

Setelah mendapat data dari survei, Riski membuka jasa penitipan barang, yang kemudian hari bernama Kost Box. Kala itu, Riski bukan satu-satunya yang memiliki usaha sejenis. Justru dengan sudah adanya beberapa usaha sejenis, memperlihatkan bahwa pasarnya ada.

Semakin Banyak yang Titip

Di bulan pertama, ada sekitar tiga orang yang menggunakan jasa Kost Box. Meski belum ada pemasaran yang masif, ternyata pelanggan cenderung bertambah, dari hitungan jari hingga belasan. Perhitungan biaya juga semakin berkembang.

Dari awalnya Rp200.000 per bulan untuk semua jenis barang, entah besar kecil, atau sedikit dan banyak. Kemudian perhitungan biaya berubah dengan mempertimbangkan besar kecil dan sedikit banyaknya barang. Perhitungan dengan sistem ukuran S, M, L, XL, dan sebagainya.

Perkembangan usaha Kost Box membuat rumah Riski penuh dengan barang. Orang tuanya kemudian ‘mengusir’ Riski, memintanya mencari gudang sendiri. Orang tua Riski ingin bisnis anaknya semakin berkembang, dengan mencari ruang penyimpanan yang lebih besar. “Sekarang yang titip barang bisa 58 orang per bulan. Kami punya tiga gudang, satu di rumah, dan dua di kos-kosan,” kata laki-laki berusia 24 tahun tersebut.

Untuk memastikan keamanan, Riski selalu mengecek gudangnya setiap hari. Dia juga memasang barcode untuk menghindari barang tertukar. Apabila ada barang yang hilang, ada garansi hingga satu juta rupiah. Sejauh ini belum ada barang berarti yang hilang. Pernah sekali ada sapu milik konsumen yang hilang, itu pun langsung ditukar. “Pas saya ambil, saya pikir sapu milik saya,” katanya.

Awalnya memang jasa penitipan, kini Kost Box berkembang dengan menyediakan jasa cargo, sewa motor, packaging, dan lainnya. “Semua masalah, Kost Box solusinya,” kata Riski.

Penitip Itu Ada-Ada Saja

Momen yang biasanya ramai menitipkan barang, saat banyak mahasiswa kuliah kerja nyata serta magang. Ada juga konsumen dari para pekerja yang sering ke luar kota. Pernah ada pula tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, dan menitipkan barangnya di Kost Box.

Proses menitipkan cenderung lancar, namun kadang kala ada saja konsumen yang problematik. Riski pernah mendapatkan konsumen di Kost Box, yang dia tidak mengambil barangnya hingga sebulan. Ada kemungkinan, dia sengaja ingin memperpanjang masa penitipan, namun tidak mau membayar.

BACA JUGA : MUI DIY Minta Indekos di Jogja Ditertibkan, Ini Alasannya

Dalihnya dia sedang sakit parah. “Ngaku mau meninggal, dia bilang kena kanker dan sebagainya. Tapi saat kita bilang kalau aturannya berubah, dan barang bisa dilelang kalau sudah lama enggak diambil, dia chat pakai nomor lain dan setelahnya langsung diambil,” kata Riski.

Pernah juga Riski menolak penitipan barang yang dirasa mencurigakan. Pernah ada orang hendak menitipkan satu vapor. Itu tidak masuk akal, lantaran barang yang seukuran bungkus rokok itu seharusnya bisa dibawa sendiri, tanpa perlu dititipkan.

Sementara barang yang paling lama berada di Kost Box, sudah sampai bertahan dua tahun. Sampai saat ini, barang yang terbungkus kardus itu masih tersimpan di gudang. “Dua tahun enggak diambil, tapi masih dibayar. Sempet ngilang juga, orang dari luar Pulau Jawa, kayaknya lagi skripsian dan lagi ninggalin Jogja,” katanya.

Mempertemukan Lebih dan Kurang Ruang

Sebagian orang memiliki ruang, bangunan, atau lahan yang berlebih. Di sisi lain, sebagian orang membutuhkan ruang untuk berbagai aktivitasnya. Potensi dan kebutuhan ini bisa dipertemukan, dengan sebuah perantara.

Sistem itu yang hendak Riski Usada terapkan ke depannya. Secara garis besar, dia ingin membuat semacam Airbnb versi penitipan barang. “Jadi perantara orang-orang, pengen bikin orang sharing space-nya. Apalagi saat ini harga properti semakin naik,” kata Riski.

Cara ini juga yang memungkinkan sebagai pengembangan usaha Kost Box. Berbeda dengan produk makanan, yang pengembangannya bisa dengan memperbanyak produk, usaha penitipan barang punya tantangan tersendiri dalam meningkatkan skala usahanya. Ke depan, Kost Box akan banyak berkolaborasi dengan orang yang ingin memanfaatkan ruang berlebihnya.

Semuanya akan masuk dalam proses pendataan, untuk semakin melihat potensi masalah dan solusinya. Seperti awal Riski membuka Kost Box, peningkatan skala bisnis ini juga perlu riset. “Kebanyakan orang usaha bikin produknya dulu baru marketing. Saya kebalik, survei dulu, kumpulin market-nya, kebutuhannya apa, baru jualin,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Kunjungi Pasar Prawirotaman, Mendag Pastikan Harga Minyakita Turun Pekan Ini

Jogja
| Senin, 25 November 2024, 11:47 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement