Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terendah Sejak 1970-an

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Di tengah ketidakpastian ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai di angka terendah sejak tahun 1970-an.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Dicky Kartikoyono. Dia mengatakan sebelum tahun 1970, ekonomi Indonesia bisa tumbuh sebesar 7,5% karena oil boom. Kemudian pada saat era industri manufaktur masih mengawali pertumbuhan, ekonomi masih dapat tumbuh 6,3%. Ekonomi RI terus turun saat sektor komoditas menjadi motor pertumbuhan yaitu sebesar 5,6%.
Advertisement
"Dan sekarang di mana kita sedang berhadapan dengan banyak sekali tantangan, pertumbuhan kita terancam, cenderung stagnan 4-5%," kata Dicky dalam agenda Fit and Proper Test Deputi Gubernur BI di Komisi XI DPR RI Jakarta, Selasa (1/7/2025).
"Kami juga melihat bahwa kondisi dalam beberapa waktu terakhir ini, terutama kita perhatikan pertumbuhan ekonomi yang mungkin dalam beberapa dekade terakhir adalah yang terendah saat ini."
Meskipun demikian, Dicky menyatakan daya saing Indonesia relatif ada di posisi moderate. Dalam hal ini bukan posisi yang cukup baik. Apabila Indonesia tidak menyikapi dengan bijaksana, lanjutnya, maka kondisi saat ini akan memberikan implikasi yang berat buat perekonomian.
Dicky mengungkapkan Bank Indonesia terus berupaya melalui sinergi dan kolaborasi yang ada di antara Kementerian, lembaga dan tentunya juga lembaga politik seperti DPR. "Ini menjadi kata kunci bagaimana kita keluar dari meretas gelombang. Potensi yang ada dalam perekonomian kita ini besar," katanya.
Lebih lanjut, Dicky mengatakan kebijakan suku bunga yang diterapkan saat ini sebesar 5,5% cukup kompetitif dan pihaknya akan berupaya untuk menurunkan suku bunga acuan. "Kita tentu akan upayakan terus untuk membawa turun ke bawah, tapi tentunya saat ini sangat kompetitif melihat bahwa federal rate-nya sekitar 4,5%," katanya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mewaspadai ketidakpastian global yang berisiko meningkat pada kuartal II-2025. Ketidakpastian ini berasal dari dampak tarif dagang Amerika Serikat (AS) yang diterapkan kepada negara-negara mitranya, termasuk Indonesia.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja Menteri Keuangan dengan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (1/7/2025). Sri Mulyani menilai pada kuartal pertama, ekspor Indonesia relatif masih bagus. Pasalnya, efek dari tarif dari Presiden Trump belum berdampak. "Kuartal II ini yang harus kita waspadai dampak dari tarif AS yang diberikan ke seluruh partner dagangnya," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan dampak tarif Trump yang perlu diwaspadai terutama dari sisi volatilitas pasar keuangan, rupiah, IHSG dan imbal hasil aset keuangan Indonesia. Selain itu, aliran investasi langsung juga patut diwaspadai. Pada kuartal I, pertumbuhannya hanya 1,4%, melambat jika dibandingkan kuartal IV-2025 sebesar 5,3%.
Lebih lanjut, dia juga mengungkapkan pemerintah mengantisipasi kondisi perang antara Iran dan Israel. Kekisruhan yang terjadi antara kedua negara telah mendongkrak harga minyak 8% hingga menyentuh US$ 78 per barel. Untungnya, harga minyak kembali melemah menjadi US$ 60 per barel saat ini. "Hal ini yang perlu terus kita pantau dari sisi kinerja ekonomi di kuartal II," katanya.
Emerging Market
Dalam rilis Global Economic Prospects edisi Juni 2025, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini hanya tumbuh 4,7%. Angka ini merosot signifikan dari perkiraan pada Januari 2025 yang sebesar 5,1%. Bank Dunia memasukkan Indonesia ke kelompok emerging market di kawasan Asia Timur dan Pasifik (EAP) bersama sejumlah negara, di antaranya Cina, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik diproyeksikan melambat dari 5% pada 2024 menjadi 4,5% pada 2025. Penyebabnya, hambatan perdagangan meningkat dan ketidakpastian kebijakan. Apabila Cina dikecualikan, pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik diperkirakan melambat menjadi 4,2% tahun ini.
"Hal ini akibat dampak langsung hambatan perdagangan yang lebih tinggi serta dampak tidak langsung lingkungan eksternal yang melemah dan menurunnya kepercayaan pelaku usaha," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Menurut Bank Dunia, risiko terhadap prospek ekonomi masih cenderung ke arah negatif, dengan ketidakpastian kebijakan yang terus tinggi dan potensi meningkatnya ketegangan perdagangan. Risiko negatif lain mencakup kondisi keuangan global yang makin ketat, dampak rambatan perlambatan ekonomi di negara-negara utama, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan bencana alam.
Di seluruh kawasan Asia Timur dan Pasifik, Bank Dunia mencatat kondisi keuangan mengetat setelah kenaikan tarif diumumkan oleh Amerika Serikat pada April 2025. Harga saham menurun tajam dan nilai mata uang terdepresiasi terhadap dolar AS di tengah arus keluar modal. Mata uang Indonesia pun tertekan karena ketidakpastian kebijakan domestik, jatuh ke nilai terendah yang tercatat pada awal April 2025.
Pada perdagangan non-deliverable forward (NDF) 7 April 2025, nilai tukar rupiah menyentuh Rp17.261 per dolar AS, posisi terendah dalam sejarah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga anjlok 9,19% pada 8 April 2025, menyentuh titik terendah 5.912,06 hingga Bursa Efek Indonesia membekukan perdagangan atau trading halt.
"Untuk negara yang ekonominya sedang berkembang, prospek yang lemah membatasi mereka meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan ekstrem," tulisnya.
Bank Dunia menyebutkan ada tiga hal yang perlu menjadi prioritas negara-negara dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertama, negara-negara disarankan membangun kerja sama perdagangan. Kedua, memulihkan kondisi fiskal. Ketiga, mendorong penciptaan lapangan kerja.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan lebih rendah setelah Kementerian Keuangan memangkas jumlahnya menjadi 5%. “Realitasnya akan lebih rendah,” kata peneliti (INDEF) Esther Sri Astuti, Selasa (2/7/2025).
Menurut Esther, kondisi itu bisa terjadi karena adanya defisit fiskal sebesar 2,78% pada semester awal tahun ini. Esther menyatakan melambungnya defisit fiskal akan berdampak terhadap porsi pembayaran utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Ia memprediksi porsi pembayaran utang terhadap PDB akan naik menjadi 40%. “Ini tidak sekadar tekanan fiskal, tetapi ada multiplier effect yang sangat luar biasa,” katanya.
Ia juga menyoroti potensi berkurangnya belanja kementerian/lembaga dan transportasi daerah. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh nasional, tetapi juga daerah. Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi 8% tidak akan terwujud apabila pemerintah terus-menerus mengeluarkan kebijakan yang bersifat kontraktif.
Ketidakpastian Kebijakan Domestik
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam laporan Economic Outlook, OECD memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7% pada 2025, turun dari proyeksi pada Maret 2025 yang sebesar 4,9%.
Organisasi yang berbasis di Prancis itu memandang pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkaitan dengan ketidakpastian kebijakan domestik, serta melemahnya permintaan eksternal akibat meningkatnya ketegangan perdagangan global. Meskipun inflasi yang rendah dan kondisi keuangan yang longgar diperkirakan mendorong konsumsi dan investasi swasta, OECD memperingatkan bahwa ketidakpastian arah kebijakan fiskal domestik dapat meredam dampak positif tersebut.
"Pertumbuhan ekspor juga diperkirakan melambat di tengah ketegangan perdagangan global," tulis OECD dalam laporannya yang dirilis pada 3 Juni 2025.
OECD juga memproyeksikan inflasi di Indonesia meningkat secara moderat menjadi 2,3% pada 2025 dan 3% pada 2026. Kenaikan ini sebagian disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang turut mendorong kenaikan harga-harga domestik. Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan sedikit melebar, dengan risiko pelebaran lebih lanjut jika harga komoditas menurun dan menekan penerimaan ekspor Indonesia.
Dengan adanya revisi dari lembaga internasional tersebut, pencapaian target pemerintah kini dinilai makin menantang. Padahal pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini hingga 5,2%, sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh OECD mencerminkan sejumlah tantangan struktural dan siklikal. Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, mengatakan pertumbuhan ekonomi di Tanah Air tahun ini memang mengkhawatirkan.
Faktor-faktor penyebabnya antara lain lemahnya daya beli masyarakat, realisasi belanja pemerintah yang belum optimal, tekanan eksternal seperti ketidakpastian ekonomi global dan harga komoditas, serta masih rendahnya kontribusi investasi terhadap penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.
Penurunan proyeksi ini juga memberi sinyal perlunya evaluasi terhadap strategi pertumbuhan ekonomi, termasuk efektivitas stimulus fiskal, percepatan reformasi struktural, serta upaya peningkatan produktivitas dan inklusivitas ekonomi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi. Pada kuartal I 2025, perekonomian Indonesia tumbuh 4,87%, lebih rendah dibanding capaian pada kuartal I 2024 yang sebesar 5,11%.
Padahal, kata Ajib, perekonomian pada kuartal pertama biasanya mencatatkan pertumbuhan yang relatif tinggi karena didorong oleh faktor musiman seperti perayaan Idul Fitri, yang secara historis meningkatkan perputaran uang dan konsumsi masyarakat. "Dalam kondisi ceteris paribus ekonomi dan tidak ada intervensi pemerintah, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 bisa di bawah 4,87%," katanya, beberapa waktu lalu.
Ajib juga mencatat bahwa tren pada kuartal kedua menunjukkan pelemahan lanjutan. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat dalam zona kontraksi pada April dan Mei 2025 masing-masing di level 46,7 dan 47,4. Setidaknya ada empat faktor utama penyebab melemahnya indikator-indikator pertumbuhan ekonomi.
Pertama, Ajib melihat adanya kemampuan konsumsi masyarakat yang menurun secara riil. Hal ini ditunjukkan oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerpa lebih dari 70 ribu pekerja pada kuartal I 2025. Data kemiskinan juga menunjukkan tren kenaikan. Angka kemiskinan di Indonesia melonjak menjadi 68,25% atau 194,58 juta jiwa setelah Bank Dunia memperbarui garis kemiskinan internasional menggunakan purchasing power parity 2021 pada Juni 2025.
BACA JUGA: Kasus Leptopirosis di Kota Jogja Melonjak, Dinkes DIY: Jika Ada Gejala Segera Periksa
Faktor kedua yang disoroti Apindo adalah pola belanja pemerintah dan efisiensi anggaran yang dinilai belum optimal. Pada kuartal I 2025, penerimaan pajak hanya 14,7% dari target tahunan, jauh di bawah ambang ideal 20%. Ajib menilai kebijakan efisiensi belanja memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya pada awal tahun.
Faktor ketiga berkaitan dengan tekanan eksternal, terutama akibat kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat atau yang disebut kebijakan "tarif Trump". Menurut Ajib, kebijakan ini menurunkan permintaan ekspor dari sektor manufaktur serta menyebabkan arus keluar modal sejak April 2025. Kompleksitas kebijakan tarif ini menimbulkan ketidakpastian dan sentimen negatif pada kuartal kedua.
Adapun faktor keempat adalah struktur investasi yang masih terkonsentrasi pada sektor padat modal. Model investasi ini dinilai memiliki multiplier effect yang rendah terhadap penciptaan lapangan kerja. Sebagai ilustrasi, pada 2014, setiap Rp1 triliun investasi mampu menyerap sekitar 4.000 tenaga kerja, tapi pada 2024 angkanya hanya sekitar 1.000 tenaga kerja.
Padahal target investasi 2025 mencapai Rp1.905,6 triliun, yang diharapkan bisa menciptakan 3,59 juta lapangan kerja baru.
Ajib menekankan pentingnya strategi fiskal dan stimulus ekonomi yang tepat sasaran pada semester II 2025 untuk menjaga momentum pertumbuhan. Ia juga mendorong pemerintah lebih berfokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas serta memperkuat daya beli masyarakat melalui program berbasis bantuan langsung tunai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Jakarta Fair 2025 Berakhir, Transaksi Sentuh Rp7,3 Triliun
- Airlangga Sebut Tarif Impor AS 32 Persen untuk Indonesia Masih Nego
- 404.192 Badan Usaha Terjerat Kredit Macet Ke Pinjol, Naik Tajam
- Bank Syariah Matahari Milik Muhammadiyah Incar BPRS di Jogja untuk Merger
- Akhir Libur Sekolah, Sejumlah Tol Jasa Marga Diskon 20 Persen hingga 13 Juli 2025, Ini Daftarnya
Advertisement

Pantai Glagah dan Desa Wisata Nglinggo Destinasi Kulonprogo Paling Banyak Dikunjungi Selama Libur Sekolah
Advertisement
Tren Baru Libur Sekolah ke Jogja Mengarah ke Quality Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Harga Emas UBS dan Galeri24 di Pegadaian Naik dalam Tiga Haru Beruntun
- Harga Pangan Hari Ini (13/7/2025): Beras, Cabai, hingga Bawang Merah Turun
- 404.192 Badan Usaha Terjerat Kredit Macet Ke Pinjol, Naik Tajam
- Airlangga Sebut Tarif Impor AS 32 Persen untuk Indonesia Masih Nego
- Kemendag Gandeng BPH Migas Awasi Alat Ukur BBM di SPBU
- Laporan Keberlanjutan Kilang Pertamina Internasional Raih Penghargaan IRSA 2025
- Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terendah Sejak 1970-an
Advertisement
Advertisement