Advertisement

Pekerja Urban di Jakarta Terhimpit Masalah Perumahan

Prasetya Agung Ginanjar
Senin, 11 Agustus 2025 - 22:27 WIB
Maya Herawati
Pekerja Urban di Jakarta Terhimpit Masalah Perumahan Perumahan - ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Pemerintah menggencarkan pemenuhan kebutuhan perumahan untuk masyarakat. Sayangnya, rumah subsidi dengan harga terjangkau berlokasi jauh dari tempat kerja para pekerja.

Langgeng, 30, harus menggeber sepeda motornya sejauh 30 km saban hari, untuk menuju kantornya di bilangan Jakarta Timur. Ia terpaksa nglaju karena rumah hasil kreditnya bersama sang istri lokasinya berada di Tangerang.

Advertisement

Sebenarnya, keputusannya mengambil KPR bersubsidi tersebut bukan perkara mudah bagi Langgeng. Sebelumnya, dia tinggal bersama orang tuanya di Jakarta Selatan. Namun, setelah menikah, keinginan memiliki rumah sendiri dianggapnya sebagai wujud kemandirian.

Rumah tipe 36 meter persegi yang dia tempati sebetulnya sudah lama diimpikan. Sayangnya, realitas rumah terjangkau itu justru menelan waktu. Untuk pergi-pulang ke kantornya, Langgeng harus menghabiskan tiga jam sehari di jalan dengan motor. Jika naik transportasi umum, waktu tempuhnya bahkan lebih panjang.

Kondisi berbeda dialami Hidayat, karyawan swasta lain. Ia yang juga punya rumah subsidi, memilih tetap menempati indekos di Fatmawati, Jakarta Selatan. Pertimbangan utamanya jarak ke tempat kerja lebih dekat, lantaran rumah subsidinya di Leuwiliang, Bogor. “Dari segi harga rumah, cukup affordable. Tapi karena jauh jadi tidak saya tempati. Dari Stasiun Bogor saja masih lanjut motor sekitar 40 menit,” kata Hidayat.

Kisah Langgeng dan Hidayat adalah dua potret dari jutaan anak muda yang terjebak ironi kepemilikan rumah di kota-kota besar. Hunian bersubsidi memang disediakan agar kelompok berpenghasilan rendah bisa punya rumah sendiri, tapi kenyataan di lapangan sering kali berseberangan dengan harapan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan, Jakarta menempati posisi terendah di Pulau Jawa terkait dengan akses rumah tangga terhadap hunian layak, yakni hanya 39%. Angka itu di bawah Banten (64,94%), Jawa Barat (56,25%), Jawa Tengah (71,76%), dan Jawa Timur (73,40%), serta DIY (86,68%).

Artinya, masih ada lebih dari separuh rumah tangga di ibu kota yang belum dapat menikmati hunian dengan kata layak. Bahkan, di antaranya terpaksa tinggal di rumah orang tua, atau terpaksa 'ngontrak' untuk tetap dekat dengan tempat kerja. BPS juga mencatat di Jakarta masih ada sekitar 1,77 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah layak huni. Menurut definisi BPS, hunian layak berarti memiliki luas minimal 7,2 m² per kapita, akses air minum aman, sanitasi layak, dan ketahanan bangunan memadai.

Sebagai pekerja bergaji tetap, sedikit di atas upah minimum regional (UMR), Langgeng dan Hidayat bisa dibilang cukup beruntung, karena masih sanggup mencicil rumah. Namun, bagaimana dengan jutaan milenial maupun Gen Z lain yang tidak punya pilihan selain mengontrak dengan biaya tinggi demi dekat kantor?

BACA JUGA: Tiga Tamu Hotel di Bausasran Jogja Terjebak di Lift

Harga Tanah

Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, persoalan ini bermuara pada dua hal, yakni harga tanah yang terus melambung di pusat kota, dan rata-rata pendapatan yang sulit mengejar kenaikan harga properti. “Bisa dikatakan sulit mendapatkan rumah subsidi di Jakarta. Paling dapat di Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, atau wilayah pinggiran lain. Jadi, mau tidak mau, orang harus pindah ke pinggir kota,” ujar Yayat.

Yayat menambahkan lain dari itu, masalah muncul karena pembangunan rumah murah di pinggir kota juga jarang diimbangi dengan transportasi publik yang memadai. Akibatnya, warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk bensin, parkir, dan waktu tempuh makin panjang. “Akibatnya cost-nya terlalu tinggi. Jadi hidupnya akan tergerus dengan pola minimalis, di mana gajinya habis untuk cicilan, ongkos transportasi, dan lainnya," jelas Yayat.

Ketimpangan antara lokasi hunian dan pusat aktivitas ekonomi inilah yang juga menimbulkan pertanyaan, benarkah rumah subsidi, yang umumnya dibangun di daerah aglomerasi sudah menjawab kebutuhan mereka.

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) misalnya, sempat mencoba menekan harga rumah dengan wacana memperkecil luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi untuk daerah perkotaan. Langkah ini diharapkan bisa menekan harga rumah kian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Namun ide ini menuai kritik hingga akhirnya Menteri PKP Maruar Sirait (Ara) membatalkan wacana pembangunan rumah subsidi mungil itu. “Saya sudah mendengar banyak masukan, termasuk dari teman-teman anggota Komisi V DPR RI. Maka saya sampaikan permohonan maaf dan saya cabut ide itu,” ujar Ara di Gedung DPR, Kamis (10/7).

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto menilai pembatalan itu sudah tepat. Pasalnya, rumah itu tidak sekadar bangunan murah, tetapi juga ruang hidup yang memengaruhi kualitas sosial dan psikologis penghuninya. “Rumah bukan sekadar tempat berteduh. Kalau hanya mengejar efisiensi lahan tanpa memikirkan aspek sosial, ya terlalu sempit cara pandangnya,” ujarnya.

Ia menerangkan standar UN-Habitat maupun target SDG 11.1, rumah layak idealnya minimal 30 m². IAI juga merekomendasikan hunian ukuran 28–36 m², agar tetap terjangkau dan layak.  

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Jadwal KA Bandara Selasa 12 Agustus 2025, Berangkat dari Stasiun Tugu

Jadwal KA Bandara Selasa 12 Agustus 2025, Berangkat dari Stasiun Tugu

Jogja
| Selasa, 12 Agustus 2025, 01:17 WIB

Advertisement

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Wisata
| Minggu, 10 Agustus 2025, 15:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement