Advertisement
Disnakertrans DIY Akan Jaring Aspirasi Pekerja

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, akan mendekati buruh di DIY yang menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Kabid Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja, Disnakertrans DIY, Ariyanto Wibowo mengatakan akan mendekati para buruh lebih lanjut untuk mengetahui mengenai hal apa saja yang ditolak oleh para buruh di DIY terkait RUU Cipta Lapangan Kerja. “Kami di daerah akan menampung aspirasi dari pekerja dan akan kami sampaikan ke Pusat dan akan meminta perkenanannya tim RUU untuk dapat menyosialisasikan secara menyeluruh pasal-pasal yang ada,” katanya, Senin (24/2).
Advertisement
Ia mengatakan sejauh ini komunikasi dengan para buruh cukup baik, dan kondusif. Diharapkannya para buruh tetap menunggu hasil-hasil yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau menjadi Undang-Undang. “Tahapan dari RUU masih mencari masukan-masukan tumbuh dari masyarakat baik pekerja, pengusaha, tenaga ahli. Proses ini masih lama bisa empat sampai lima bulan. Tetapi nanti keputusan tetap di Pusat,” katanya.
Diharapkannya pula, jika ada aspirasi dari para pekerja dapat disampaikan dengan bijak dan damai ke Disnakertrans DIY. Sehingga DIY tetap aman dan kondusif.
Sebelumnya, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) DIY, Dani Eko Wiyono mengatakan alasan penolakan tersebut, pertama berkaitan dengan masalah upah. “RUU Cipta Kerja kami anggap berusaha menghilangkan aturan upah minimum karena ada pasal tentang fleksibilitas kerja dan upah per jam. Jadi, peraturan ini disinyalir hanya akal-akalan untuk pengusaha agar bisa membayar buruh di bawah upah minimum,” ucapnya.
Kedua, terkait pemutusan hubungan kerja (PHK). Perubahan ini justru sangat merugikan buruh. Sebelumnya, ketentuan pesangon sudah diatur di UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Penjelasannya. “Di sana tertulis, besarnya pesangon bisa sampai sembilan bulan upah, untuk PHK jenis tertentu malah bisa 18 bulan. Ada juga penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon. Melihat angka ini, pemberian upah sebesar enam bulan gaji jelas penurunan,” katanya.
Alasan ketiga, soal istilah fleksibilitas pasar kerja. Dianggap sistem kerja yang fleksibel bisa diartikan kemudahan untuk perusahaan memecat pekerja. Pada UU 13/2003, kebijakan outsourcing atau pemanggilan pekerja lepas hanya dibatasi di lima jenis pekerjaan. Namun dengan sistem baru, semua jenis pekerjaan berpeluang bisa di-outsourcing. Ditambah lagi kekhawatiran dengan kebijakan outsurcing tenaga kerja asing yang mengancam peran-peran tenaga lokal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Wacana TPR 1 Pintu Seluruh Wisata Pantai DIY, Ini Respons Bupati KP
Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA
Advertisement
Berita Populer
- Prabowo Pangkas BUMN Jadi 200 Entitas Usaha, Optimistis Untung
- Pertamina Patra Niaga Kembangkan SAF dari Minyak Jelantah
- Trump Klaim India Tak Lagi Beli Minyak dari Rusia
- Harga Emas Antam di Pegadaian Hari Ini, Tembus Rp2,6 Juta
- Kopdes Merah Putih Didorong Jadi Pusat Logistik dan Pemasaran Desa
- Menkeu Purbaya Bandingkan Pertumbuhan Ekonomi Era SBY dan Jokowi
- Presiden Prabowo Minta Purbaya Tinjau Ulang PP Devisa Hasil Ekspor
Advertisement
Advertisement