Advertisement
Pakar Sebut Pelarangan TikTok Shop Bisa Menjadi Solusi Sementara

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpandangan keputusan pemerintah melarang social e-commerce Tiktok Shop bisa menjadi pilihan yang tepat untuk sementara. Sebab persaingan usaha yang terjadi sudah tidak sehat.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan secara resmi melarang social e-commerce Tiktok Shop menjadi wadah transaksi jual beli di Indonesia. Social e-commerce Tiktok Shop hanya diperbolehkan sebagai sarana promosi atau beriklan saja. Keputusan tersebut tertuang dalam Permendag No. 31/2023 hasil revisi Permendag No. 50/2020 mengenai Ketentuan perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem elektronik (PMSE).
Advertisement
Menurut Tauhid, dalam jangka pendek diperlukan shock therapy, sebab social e-commerce memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan dengan e-commerce biasa atau konvensional. Social e-commerce memiliki kekuatan pada followers, sementara e-commerce biasa tidak punya dan pasarnya terbatas.
"Ini yang berimplikasi pada persaingan usaha yang tidak sehat, meski sama-sama pelaku usaha. Dia bisa masuk ke pasar yang lebih jauh daripada konvensional. Jumlahnya yang besar ada probability membuat harga menjadi lebih murah karena bisa memotong rantai distribusi," ucapnya dihubungi, Jumat (29/9/2023).
Baca Juga: TikTok Dilarang Jualan, 6 Juta Penjual dan 7 Juta Kreator Bisa Gulung Tikar
Berbeda dengan perdagangan konvensional, dia harus melalui distributor, di toko kecil. Sementara di social e-commerce produsen bisa langsung bermitra. Misalnya dengan artis yang jumlah follower-nya puluhan juta seperti Raffi Ahmad dan lainnya.
"Orang yang menjadi influencer-nya adalah orang yang dikenal dan dipercaya. Memang harus dipisahkan [media sosial dan e-commerce]," ungkapnya.
Apalagi jika barang-barang tersebut impor yang ada predatory pricing, sehingga harga jualnya tidak masuk akal. Misalnya harga jilbab mestinya Rp15.000 tetapi bisa dijual dengan harga Rp5.000. Ini mematikan pedagang kecil.
Dia berpandangan social e-commerce perlu diatur kembali, media sosial hanya dimanfaatkan untuk promosi dan transaksi ada di tempat lain. Kemudian barang-barang dagangan yang sangat murah ini juga perlu diselidiki.
Baca Juga: TikTok Shop Dilarang, Apakah Menguntungkan UMKM DIY? Ini Kata Pemda..
Pedagang kecil, kata Tauhid, tidak mungkin bisa banting harga. Dalam kurun waktu sebulan hingga dua bulan usahanya akan ambruk. Bagi pemodal besar mungkin masih berani banting harga.
"Nah ini kan harus diatur termasuk barang impor mengapa murah, apakah cross border-nya lemah tidak ada pemeriksaan. Katakanlah ada ilegal yang masuk, enggak bayar biaya masuk, gak bayar pajak, itu kan perlu pengawasan saya kira memang harus ada penjelasan Permendag No.31/2023."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Ungkap Kecurangan Beras Oplosan, Menteri Pertanian Tak Gentar Meski Ada Intimidasi
- Menteri PKP Pastikan Aturan Penyaluran KUR Perumahan Rampung Bulan Ini
- Penerbangan Susi Air Jogja-Bandung Bakal Dibanderol Rp1,75 Juta
- Sri Mulyani Ungkap Saldo Akhir APBN 2024 Sebesar Rp457,5 Triliun
- Harga BBM Non Subsidi di Jogja Naik per Juli 2025, Pertamax Kini Rp12.500 per Liter
Advertisement

Penertiban di Pantai Drini: Warga Diberi Waktu hingga 15 Juli Membongkar Mandiri
Advertisement

Jalur Hiking Merapi di Argobelah Klaten Kian Beragam dengan Panorama Menarik
Advertisement
Berita Populer
- Promo Holiday Spesial Juli di Kotta GO Yogyakarta: Liburan Nyaman dan Menyenangkan
- PT KAI Daop 6 Yogyakarta Tidak Akan Menoleransi Aksi Pelemparan Kereta Api
- Kementerian ESDM Umumkan Harga Bioetanol Juli Rp10.832 per Liter
- Selalu Tepat Waktu Melayani Penerbangan Haji 2025, Lion Air Dapat Pujian dari Menteri Agama
- Jelang Deadline Tarif Trump, Begini Tanggapan Asmindo DIY
- Harga Pangan Hari Ini, Minggu 6 Juli 2025, Beras, Cabai, Minyak, hingga Bawang Turun
- Cek Harga Emas Hari Ini, Antam, UBS dan Galeri24
Advertisement
Advertisement