Advertisement
Tujuh dari Sepuluh Orang Indonesia Tidak Menabung
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Tujuh dari sepuluh orang di Indonesia tidak menabung. Hal ini berdasarkan temuan survei GoodStats bertajuk Perilaku Mengelola Keuangan Masyarakat 2024.
Menurut survei tersebut, hanya 30,1% responden yang tercatat memiliki tabungan. Sedangkan hampir 70% sisanya saat ini sedang tidak menabung. Mereka yang menabung pun tercatat tidak mampu menyisihkan pendapatannya secara rutin untuk ditabung. Sebanyak 23,4% responden mengaku masih belum konsisten dalam menabung.
Advertisement
Managing Editor GoodStats, Iip M. Aditya, mengatakan ada banyak faktor yang melatarbelakangi rendahnya kebiasaan menabung di kalangan masyarakat Indonesia, salah satunya adalah perilaku impulsif dalam membelanjakan uang. Penentuan prioritas antara kebutuhan pokok dan keinginan semata masih sulit dilakukan oleh warga Indonesia.
Adapun alasan masyarakat Indonesia tidak menabung yaitu langsung membelanjakan uang (34,5%), pendapatan tidak cukup (28,2%), tidak terbiasa (10,3%), tidak tau cara menabung (7%), serta lainnya (5%). “Survei kami menunjukkan kalau 34,5% responden lebih suka membelanjakan langsung semua uangnya dibandingkan ditabung. Perilaku impulsif ini membuat uang cepat habis dan kebutuhan penting malah tidak terpenuhi,” katanya, Rabu (18/12/2024).
Di samping kurangnya kedisiplinan dalam mengelola uang, sebanyak 28,2% responden juga tercatat mengalami kendala di pendapatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata upah Indonesia per Agustus 2024 adalah sebesar Rp3,3 juta. Dengan kenaikan standar hidup layak menjadi Rp1,03 juta per kapita per bulan, masyarakat Indonesia semakin terdesak untuk menabung. Pendapatannya banyak dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga pikiran menabung cenderung dinomorduakan.
Sisihkan Kurang dari 10 Persen
Sebanyak 55,5% responden tercatat menyisihkan kurang dari 10% pendapatannya untuk ditabung, Sedangkan 33,5% menyisihkan sekitar 10% hingga 20% gajinya. Hanya segelintir (2%) yang menyisihkan lebih dari 50% pendapatannya untuk ditabung.
“Adanya kebutuhan yang lebih mendesak membuat warga Indonesia tidak bisa menyisihkan terlalu banyak gajinya untuk ditabung. Mayoritas menyisihkan di bawah 20% pendapatannya,” kata Iip.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merekomendasikan formula 40-30-20-10 dalam mengelola pendapatan dengan lebih teratur. Dalam hal ini, 40% pendapatan disisihkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, 30% untuk melunasi cicilan atau utang, 20% untuk ditabung demi masa depan, dan 10% sisanya diberikan untuk membayar zakat atau bersedekah.
Temuan lainnya, di antara 30% responden yang menabung, mayoritas memiliki tujuan untuk pembelian besar, seperti rumah dan mobil. Harganya yang fantastis membuat pembeliannya harus disiapkan jauh-jauh hari, salah satunya adalah dengan menabung. “Selain buat pembelian besar, banyak yang juga menabung buat berjaga-jaga terhadap kebutuhan darurat, seperti kecelakaan, penyakit, dan kebutuhan mendadak lain,” tegas Iip.
Berikut detail tujuan orang Indonesia dalam menabung. Tujuan terbesar orang menabung yaitu pembelian besar (31%), dana darurat (24%), hari tua (12%), pendidikan (9,2%), liburan (8,5%), kesehatan (5,2%), serta lainnya (10,1%). Sebagai informasi, survey Perilaku Mengelola Keuangan Masyarakat 2024 berlangsung pada 20-30 November 2024 dengan metodologi kuantitatif online yang melibatkan 1.000 panel responden.
Bank Masjid Jadi Tempat Favorit Warga Menabung
Bank masih menjadi pilihan favorit masyarakat Indonesia untuk menabung. Temuan ini berdasarkan survei bertajuk Perilaku Mengelola Keuangan Masyarakat 2024 dari GoodStats.
Tingkat keamanannya yang terjamin dan serta bunga tabungan yang tinggi membuatnya menjadi instrumen menabung yang banyak digemari. Sebanyak 39,1% responden menabung di bank. Di posisi kedua tempat orang menyimpan uangnya yaitu di dompet digital, dengan persentase 28% responden. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat terhadap instrumen menabung digital.
“Memang dibandingkan instrumen tradisional, bank dan dompet digital lebih terjamin keamanannya. Tapi, bukan berarti tempat menabung konvensional sudah ditinggalkan. Masih ada 10,2% responden yang memilih buat menabung di celengan,” kata Managing Editor GoodStats, Iip M. Aditya.
Dari sisi perusahaan, BCA terpilih menjadi bank yang paling aman dan bisa dipercaya dalam menyimpan tabungan. Sebanyak 30% responden dari total responden memiliki BCA sebagai tempat menyimpan uang.
Di samping BCA, bank-bank BUMN turut masuk dalam daftar, seperti Mandiri (22,5%), BNI (16,3%), BRI (11,1%), hingga BSI (5%). Keamanan yang tinggi dan kepercayaan yang dipupuk sejak lama menjadikan deretan bank di atas mendapatkan kredibilitas yang tinggi di mata warga Indonesia.
Separuh Warga Tidak Punya Anggaran Bulanan
Lebih dari separuh responden, atau tepatnya 62,5%, tidak memiliki anggaran bulanan. Selain menabung, menyusun anggaran bulanan secara rinci juga penting dalam pengelolaan keuangan. Survei GoodStats menyatakan hanya 37,5% responden yang sudah membuat anggaran bulanan secara rutin.
“Kebiasaan mencatat pemasukan dan pengeluaran, serta merencanakan alokasi gaji bulanan memang masih tergolong rendah di kalangan masyarakat,” kata Iip.
Kebanyakan responden merasa tidak perlu membuat anggaran rinci setiap bulan, sementara lainnya mengaku tidak ada waktu. Membuat anggaran yang rinci bisa membantu melacak pemasukan dan pengeluaran dengan lebih baik, mendorong seseorang untuk lebih rajin menabung dan menghemat pengeluaran. Namun setiap orang tentu memiliki preferensi yang berbeda-beda. Mencatat anggaran bulanan secara rinci mungkin efektif bagi sebagian orang, namun kurang efektif untuk yang lain.
Pengelolaan keuangan pribadi dianggap penting untuk dilakukan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Mayoritas responden menginginkan adanya pendidikan dan pelatihan keuangan khusus guna meningkatkan pemahaman terkait berbagai instrumen tabungan dan langkah-langkah dalam mengelola keuangan dengan lebih baik.
Sementara itu, 24% responden menyarankan adanya program insentif menabung, khususnya untuk meningkatkan motivasi dan semangat menabung di kalangan masyarakat. Dukungan internal dari teman dan keluarga juga dipandang penting.
“Masyarakat Indonesia ingin memperbaiki kebiasaan pengelolaan keuangannya. Sudah ada usaha untuk meningkatkan kondisi finansial di masa depan,” katanya.
Menjelang Kenaikan PPN tahun 2025
Pengelolaan keuangan bisa menjadi modal penting di tahun-tahun mendatang, mengingat rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Kenaikan itu masuk dalam amanat UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atas pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021.
Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Sri Herianingrum, mengatakan kenaikan pajak akan meningkatkan pendapatan pemerintah. Namun, hal yang sama juga berpotensi mengurangi aktivitas ekonomi mikro. “Dampaknya akan terasa pada proses produksi dengan adanya tambahan biaya. Yang kemungkinan akan mengurangi profitabilitas perusahaan,” katanya, beberapa waktu lalu.
Saat ini kondisi ekonomi sudah mengalami ketidakstabilan, terutama dalam hal harga-harga kebutuhan pokok yang naik secara signifikan. Kenaikan PPN akan semakin memperburuk kondisi tersebut, terutama bagi golongan menengah ke bawah yang sudah terdampak oleh kenaikan harga barang-barang pokok sebelumnya.
“Di mana terjadi kenaikan harga sejumlah barang kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng. Hal ini dapat memberi tekanan ekstra, terutama pada golongan menengah ke bawah yang akan merasakan dampaknya secara langsung,” kata Herianingrum.
Lebih lanjut, Herianingrum mengatakan dampak kenaikan PPN juga dirasakan dalam tingkat investasi. Para pelaku bisnis, terutama usaha kecil dan menengah, diprediksi mengalami peningkatan biaya produksi. Pada akhirnya, hal itu dapat mengurangi daya saing dan profitabilitas mereka. “Investasi pun berpotensi menurun karena adanya peningkatan biaya produksi dan penurunan permintaan atas barang dan jasa,” katanya.
Penurunan Daya Beli dan Perilaku Konsumen
Kenaikan PPN berpotensi berdampak pada perilaku konsumen secara individual. Pengurangan daya beli akibat kenaikan harga barang akan menyebabkan konsumsi masyarakat menurun, terutama pada golongan dengan pendapatan rendah hingga menengah. Hal tersebut dapat mengurangi tabungan mereka untuk masa depan dan mempersempit ruang gerak ekonomi masyarakat.
“Perlu diingat bahwa dampaknya terhadap ekonomi mikro dan perilaku konsumen harus dipertimbangkan secara menyeluruh. Evaluasi terperinci perlu dilakukan untuk memahami dampak serta mempertimbangkan alternatif kebijakan yang dapat mengurangi beban ekonomi pada masyarakat rentan,” kata Herianingrum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Konstruksi Tol Jogja-Solo Terus Dikebut, Ruas Trihanggo-Junction Sleman Bersiap Stressing Girder
Advertisement
Asyiknya Camping di Pantai, Ini 2 Pantai yang Jadi Lokasi Favorit Camping Saat Malam Tahun Baru di Gunungkidul
Advertisement
Berita Populer
- Quality Tourism Hingga Promosi Wisata DIY ke Luar Negeri Perlu Digenjot Tahun Ini
- Setop Impor Beras, Gula, Garam dan Jagung, Kemendag Dukung Swasembada Pangan
- Agar Layak Konsumsi, Bapanas Bakal Pantau Keamanan Pangan Segar secara Intensif
- Kenaikan Harga Jual Rokok Eceran Disebut Bakal Memicu Maraknya Rokok Ilegal
- FAO Sebut Harga Pangan Dunia Turun 2,1 Persen pada 2024
- Harga Cabai Rawit dan Bawang Putih Hari Ini Naik
- Dorong Sektor Pariwisata, Rute Penerbangan Internasional Bandara YIA Diminta Ditambah
Advertisement
Advertisement