Advertisement

NERACA BERAS : Kuartal Keempat Diproyeksi Defisit

Newswire
Kamis, 25 Oktober 2018 - 13:10 WIB
Laila Rochmatin
NERACA BERAS : Kuartal Keempat Diproyeksi Defisit Beras Sleman dipasarkan di Gelar Potensi Pertanian yang diadakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penyuluh Pertanian Pangan dan Perikanan (BP4) Godean, Selasa (7/8 - 2018).Harian Jogja/Fahmi Ahmad Burhan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Neraca beras pada kuartal keempat tahun ini berpotensi defisit 3,51 juta ton beras. Pemerintah memastikan kebijakan impor akan semakin tepat dan akurat setelah adanya perbaikan metodologi perhitungan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Berdasarkan hasil survei Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik, potensi produksi padi pada Oktober—Desember mencapai 6,89 juta ton gabah kering giling (GKG) setara dengan 3,94 juta ton beras. Padahal, konsumsi beras pada 3 bulan terakhir 2018 diperkirakan mencapai 7,45 juta ton sehingga akan terjadi defisit beras 3,51 juta ton.

Advertisement

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan defisit ini terjadi karena mulai memasuki masa tanam, adapun potensi luasan panen dalam 3 bulan terakhir ini hanya 1,37 juta hektare. Namun, katanya, produksi beras sepanjang 2018 diperkirakan surplus 2,85 juta ton.

“Surplus ini surplus kumulatif karena ada bulan-bulan tertentu yang defisit. Surplus ini tak hanya berada di satu tempat tetapi menyebar ke di rumah tangga produsen, di rumah tangga konsumen, pedagang, penggilingan, hotel dan restoran, serta Bulog," katanya, Rabu (24/10/2018).

Total produksi padi tahun ini diperkirakan 56,54 juta ton GKG setara beras 32,42 juta ton, sedangkan konsumsi beras diperkirakan 29,57 juta ton. Luasan panen sepanjang tahun ini diperkirakan 10,90 juta hektare, terdiri dari luas panen dari Januari—September mencapai 9,54 juta hektare dan potensi Oktober—Desember yang mencapai 1,37 juta hektare.

Suhariyanto menilai potensi defisit pada kuartal ini tak akan berdampak besar apabila dikelola secara benar. Dia mengusulkan agar jumlah stok beras yang ada perlu diamati dari waktu ke waktu bukan diamati secara kumulatif setahun. Selain itu, perlu diteliti pergerakan produksi beras antarprovinsi dan kabupaten/kota.

"Pergerakan surplus antardaerah ini susah ditangkap. Surplus yang ada 2,85 juta ton ini nyebar kemana-mana. Ketika pemerintah perlu intervensi enggak akan mungkin enggak milih [impor] kami hanya bergantung pada jumlah stok di bulog. Karena per bulannya konsumsi butuh 2,5 juta ton," tutur Suhariyanto.

Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar menuturkan potensi defisit neraca beras dalam 3 bulan terakhir tahun ini merupakan tren tahunan karena kekurangan luas lahan. Dia meyakini tidak akan terjadi defisit pada akhir tahun ini karena Bulog bukan satu-satunya yang menyerap beras.

"Strategi kami ya berpacu, pada Februari terjadi panen raya, ya kami serap pengadaan harus lebih besar sehingga punya cadangan beras cukup banyak," ucapnya.

Sejauh ini, realisasi serapan Bulog sudah mencapai 1,5 juta ton, sedangkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, realisasi pengadaan setara beras sudah mencapai 1,46 juta ton per 20 Oktober 2018.

Penyerapan beras akan terus dilakukan, meski dalam pelaksanaannya terkendala kebijakan harga pembelian berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. "Kalau harga lebih tinggi dari itu, Bulog tidak bisa menyerap. Kalau harga cocok akhir tahun ini bisa terserap 2 juta ton beras," kata Bachtiar.

Panen raya di Jawa umumnya pada Februari. Dari sana bisa diserap 300.000 ton gabah kering giling. Namun, untuk bulan lainnya seperti Juli—Oktober tidak sepenuhnya bisa diserap Bulog karena memiliki kriteria tertentu. Salah satunya, harganya tak lebih mahal dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp8.030 per kg.

"Juga kalau ada operasi pasar, ya harus ada stoknya untuk guyur supaya masyarakat tetap bisa beli beras di kisaran Rp8.500 untuk beras medium," ucap Bachtiar.

Serapan Bulog itu untuk memenuhi penugasan pemerintah seperti penyaluran bantuan sosial beras sejahtera (rastra), operasi pasar, dan bantuan bencana alam. Stok beras Bulog dari pengadaan dalam negeri saat ini 800.000 ton beras medium, dan 150.000 ton beras premium.

Dari 1,8 juta ton impor beras tahun ini, sebanyak 1,5 juta ton sudah di gudang Bulog. Sisanya, masih dalam proses pengangkutan menuju gudang. "Ditambah pengadaan impor kurang lebih stoknya nanti (hingga akhir tahun) di atas 2,5 juta ton atau hampir 2,7 juta ton," ujarnya.

Dengan kecukupan stok beras tersebut, Bachtiar meyakini impor beras tidak perlu dilakukan lagi pada tahun ini. "Stok beras sampai akhir tahun ini cukup. Kita tidak impor lagi. Gudang juga penuh. Impor ini untuk untuk mengantisipasi kalau ada bencana, el nino, kekeringan, gagal panen, kan kita ada stok. Kalau sekarang sih cukup," tuturnya Bachtiar.

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso tidak memungkiri tren surplus dan defisit beras pada bulan-bulan tertentu. "Akhir tahun terjadi defisit dari Oktober hingga awal Maret karena merupakan masa tanam.”

Menurutnya, idealnya stok beras yang aman pada akhir tahun tidak hanya 2 juta ton tetapi bisa mencapai 9 juta ton beras.

Ekonom pertanian Husein Sawit berpendapat bahwa paling penting adalah mengetahui stok Bulog terkini karena bisa dipakai untuk intervensi. "Kalau surplus dipegang petani biasanya pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa."

Kebijakan Impor Beras

Pemerintah memastikan bahwa segala kebijakan yang bakal diambil terkait impor beras akan semakin tepat dan akurat seiring dengan adanya perbaikan metodologi perhitungan data luas panen dan produksi beras melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa dengan adanya data keluaran BPS tersebut akan mengurangi perdebatan yang terjadi selama ini lantaran adanya perbedaan data dari masing-masing kementerian / lembaga yang terkait.

"Dengan data itu kita melihat kebijakan yang diambil itu akan lebih tepat," ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (24/10).

Menurutnya dengan data yang lebih akurat dan berkurangnya perdebatan tersebut, maka keputusan yang diambil pemerintah, apakah akan impor beras atau tidak, akan lebih cepat dan tidak akan terlambat seperti selama ini.

"Selain lebih akurat, paling tidak perdebatannya selama ini bisa hilang, sehingga keputusannya itu tidak terlambat. Yang kemarin ini sebenarnya terlambat," katanya.

Darmin menerangkan bahwa harga beras sebenarnya sudah mulai naik sejak Oktober - November 2017, akan tetapi pemerintah baru bisa memutuskan impor 500 ribu ton ketika posisi stok beras hanya sekitar 580.00 ton.

"Karena ada yang bilang, kita Maret mau panen raya, pasti surplus. Akhirnya kita tunggu sampai akhir Maret, ternyata ga naik stok beras, karena Bulog gak mampu menyerap, maka harus dinaikkan impornya," ujarnya.

Menurutnya apabila sampai terlambat memutuskan kebijakan impor beras, akan menimbulkan persoalan yang lebih besar bagi masyarakat, salah satunya adalah melonjaknya inflasi seperti yang dialami oleh Filipina.

"Filipina tidak mau impor tahun ini, tapi Agustus kemarin inflasinya naik di atas 6%, padahal biasanya paling-paling hanya 2% selama setahun. Dan mereka panik karena nyari beras buru buru ditengah situasi seperti itu," ujarnya.

Apalagi, kata Darmin, bahwa kebijakan impor beras adalah bukan sesuatu hal yang haram, sehingga apabila memang kondisinya memerlukan impor, maka hal itu itu harus ditempuh. "Jadi, kalau perlu ya impor, kenapa tidak. Impor itu bukan barang haram, dari pada rakyat yang kena," ujarnya.

Darmin mengharapkan perbaikan data tersebut bisa terus dilakukan oleh BPS agar tidak ada lagi persoalan pasokan beras yang kurang.

BPS memastikan akan melakukan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras dengan metode kerangka sampel area (KSA) yakni metode dengan memanfaatkan teknologi citra satelit dan peta lahan baku sawah.

Untuk penyediaan data ini, BPS bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Badan Informasi dan Geospasial (BIG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Adapun untuk tahun ini, BPS telah mencatat luas panen padi Januari-Desember 2018 telah mencapai 10,9 juta hektar dengan potensi produksi padi sebesar 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Pilkada 2024, PDIP DIY Tegaskan Terbuka Bekerja Sama dengan Partai Lain

Jogja
| Selasa, 23 April 2024, 13:37 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement