Advertisement
Fundamental Kuat Jadi Modal Indonesia Hadapi Krisis
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. - IST
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Fundamental ekonomi Indonesia dinilai cukup kuat, kendati demikian potensi krisis pada saat ini mesti diwaspadai. Hal itu dikemukakan dalam Seminar Forum Studi dan Diskusi Ekonomi (FSDE) yang digelar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM di Kraton Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta Hotel, Sabtu (18/11).
Dalam acara bertajuk Enlarging the Menu of Stabilization Policy as to Prevent A otger Crisis ini dihadiri sejumlah pembicara pakar ekonomi. Antara lain Guru Besar UGM sekaligus Wakil Presiden ke-11 Boediono, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah dan Komisaris Independen Cyrillus Harinowo.
Advertisement
"Krisis harus hadapi. Namun, belajar dari krisis 1998, pada krisis 2008, Indonesia memiliki kemandirian dan dibandingkan negara lain recovery crisis lebih baik," ujar Boediono.
Kendati demikian, negara tetap harus menyiapkan strategi untuk menghadapi krisis dalam kondisi normal. Budiono mengungkapkan ada beberapa strategi untuk menyiapkan sistem ekonomi kuat menghadapi krisis. Dia menyebutnya perlunya struktur ekonomi yang tahan terhadap risiko krisis, misalnya sektor riil dan finansial.
BACA JUGA
"Keseimbangan antara sektoral dan struktural juga harus dijaga. Selain itu, terpenting menyiapkan kebijakan dan regulasi yang memiliki ketahanan pada krisis," ungkap Boediono.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengungkapkan melihat tren pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu lima hingga enam tahun terakhir, fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Kendati selama dua tahun terakhir ini rupiah melemah hingga 12% tetapi inflasi masih relatif terjaga. "Dampak perubahan tidak cepat ini memberikan ruang bagi sejumlah sektor untuk bisa menyesuaikan diri," ujar Halim.
Di tengah kondisi ekonomi dan tekanan mata uang asing terhadap rupiah, Halim mengungkapkan adanya fenomena menarik. Fenomena itu terjadi pada perilaku dana simpanan masyarakat di perbankan. Dana pihak ketiga (DPK) dengan nilai Rp500 juta ke bawah justru mengalami peningkatan, sedangkan DPK dengan nilai yang lebih besar cenderung mengalami penurunan.
Halim memaparkan masyarakat Indonesia ini uniknya lebih suka menyimpan uangnya di nonfinancial access, misalnya di properti. Hal ini sangat berbeda dengan karakter masyarakat di negara lain di kawasan Asia.
"Seharusnya masyarakat Indonesia harus dapat lebih dìdorong untuk menabung atau menyimpan uangnya di bank, agar dapat memberikan multiplier effect yang lebih luas," jelas Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Penjualan Tiket Kereta Api Jarak Jauh Melonjak hingga Jutaan Kursi
- Pendapatan Box Office Disney 2025 Tembus Rp100 Triliun
- Harga Pangan Nasional di Hari Natal: Cabai hingga Telur
- Upah Minimum Naik, Industri Tekstil Waspadai PHK dan Otomatisasi
- Harga Emas Antam Naik Rp11.000, Kini Rp2.502.000 per Gram
Advertisement
Jadwal plus Tarif Bus Sinar Jaya ke Pantai Baron dan Parangtritis
Advertisement
Menikmati Senja Tenang di Pantai Kerandangan Senggigi Lombok Barat
Advertisement
Berita Populer
- Bulog Pastikan Harga Beras Stabil Jelang Natal dan Tahun Baru
- Daftar Lengkap UMP 2026 di 36 Provinsi: DKI Tertinggi, Jabar Terendah
- KAI Daop 6 Catat Pergerakan Penumpang Tinggi pada Libur Nataru
- China Desak AS Berlaku Adil dalam Kesepakatan Penjualan TikTok
- Pemerintah Siapkan Pendanaan Film Terintegrasi
- Pendapatan Box Office Disney 2025 Tembus Rp100 Triliun
- Penjualan Tiket Kereta Api Jarak Jauh Melonjak hingga Jutaan Kursi
Advertisement
Advertisement



