Advertisement
Runtuhnya Silicon Valley Bank Dinilai Bisa Picu Resesi Global

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada pekan lalu dinilai bisa memicu resesi global.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan adanya naiknya potensi resesi global setelah tumbangnya Silicon Valley Bank (SVB).
Advertisement
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyampaikan resesi global yang baru saja mendapatkan angin segar dengan berbagai lembaga internasional meningkatkan optimismenya jauh dari resesi setelah China membuka ekonominya. Kini kekhawatiran tersebut muncul lagi karena menyangkut sektor keuangan.
“Dengan kejadian ini yang dipicu oleh sektor keuangan, saya rasa ini bisa memicu resesi kalau nggak ditangani. Hari ini kami mendengar sudah merambat ke Eropa,” ujarnya dalam diskusi publik Indef, Kamis (16/3/2023).
Setelah The Fed memicu langkah agresif dalam menaikkan suku bunga, negara lain mengimbangi suku bunga masing-masing. Hal tersebut dilakukan untuk mengendalikan inflasi dan mencegah capital outflow.
Melihat inflasi di negara-negara besar seperti Amerika dan Eropa yang masih cukup tinggi, di mana mengandalkan suku bunga acuan dalam pengendaliannya, menjadikan potensi resesi semakin tinggi.
“Kalau kemudian terus menerus menaikkan suku bunga, ya tidak bisa dihandari resesi global,” jelasnya.
Sebelum runtuhnya SVB, The Fed memberikan sinyal masih akan melakukan langkah agresif dalam suku bunga. Sementara banyak ekonom memproyeksikan dengan runtuhnya SVB diikuti Siganture Bank, akan membuat The Fed menahan diri.
“Karena sudah ada bank yang jatuh, saya rasa The Fed kemungkinan tidak akan agresif ke depan, sampai situasi bank bisa confidence dan bisa adaptasi kepada kebijakan AS,” tambahnya.
Padahal, SVB dapat dikatakan sebagai bank yang tidak terlalu besar dan kalau pun ditutup, tidak ada dampak langsung yang dirasakan.
Peneliti di Center of Indutry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus melaporkan dari hasil perhitungan nilai aset SVB dengan bank lainnya di AS, SVB hanya berkontribusi 1-2 persen.
Mengingat SVB memiliki kekhususan dalam mendanai perusahaan rintisan atau startup, hal tersebut lah yang menyulut kekhawatiran berlebih.
“Sebenarnya yang bikin berdampak buruk itu adalah karena ketakutannya. Panik dan khawatir berlebihan, sentimen pasar yang terlalu berlebihan meresponnya, ini yang justru menimbulkan dampak buruk,” katanya.
Bahkan, untuk Indonesia sendiri dengan gejolak ekonomi AS tersebut tidak berdampak banyak, justru menjadi kabar baik bagi rupiah.
Setelah dua bank di AS ambruk, kini Credit Suisse di Eropa berada pada ambang kebangkrutan, namun kabarnya akan menarik pinjaman US$54 miliar dari Bank Sentral Swiss untuk bertahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Sri Mulyani Ungkap Saldo Akhir APBN 2024 Sebesar Rp457,5 Triliun
- Harga BBM Non Subsidi di Jogja Naik per Juli 2025, Pertamax Kini Rp12.500 per Liter
- Semarakkan Solo Raya Great Sale 2025, Ada Diskon Tarif Kereta Api 10 Persen, Ini Daftarnya
- Penuhi Syarat Keselamatan Terbang, Garuda Indonesia Buka Lagi Rute Jakarta-Doha
- Kecurangan Beras Rugikan Konsumen Rp99,35 Triliun harus Ditindak
Advertisement

Akses Keluar Masuk Jalan Tol Jogja Solo Segmen Klaten-Prambanan, Jarak Tempuh Hanya 10 Menit
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Libur Panjang Tahun Baru Islam, PHRI DIY Sebut Hotel Ramai hingga 4 Hari
- TikTok Akan Dibeli Orang Kaya di AS, Begini Respons Pemerintah China
- Kelola Sampah Sepenuh Hati, Bisnis Hotel Semakin Berseri
- Semarakkan Liburan Sekolah, MORAZEN Yogyakarta dan Waterboom Jogja Gelar Lomba Mewarnai
- Update! Harga Bahan Pangan Selasa 1 Juli 2025
- Pakar Energi UGM Sebut Kenaikan Harga BBM Non Subsidi Sudah Tepat
- Astra Motor Yogyakarta Ajak Honda Community Riding Santai Malam Hari
Advertisement
Advertisement