Advertisement
Sri Mulyani: Ekonomi Global Masih Tak Pasti

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa perekonomian global masih menghadapi situasi yang sangat tidak pasti. Dia bahkan memprediksi situasi ketidakpastian global akan berlanjut pada 2024.
BACA JUGA: Sri Mulyani Ajak Talenta Terbaik di Indonesia Kerja di World Bank
Advertisement
Hal ini sejalan dengan proyeksi berbagai lembaga internasional, misalnya Bank Dunia (World Bank) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini hanya akan mencapai 2,1 persen.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2023 mencapai 2,7 persen dan proyeksi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) hanya sebesar 2,7 persen.
“Saya baru saja kembali dari Paris [Paris Summit 2023] dan memang menggambarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global masih tak pasti, sesuai dengan prediksi yang dikeluarkan lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD, semuanya menggambarkan tahun 2023 ini tahun yang cukup lemah dibandingkan tahun lalu atau dibandingkan 2021,” katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Senin (26/6/2023).
Sejalan dengan pelemahan ekonomi global, perdagangan global pada 2023 juga menunjukkan pelemahan yang signifikan, yang mana diperkirakan hanya tumbuh 2,4 persen pada tahun ini, melemah dari pertumbuhan pada 2022 sebesar 5,1 persen dan pada 2021 yang mencapai 10,6 persen.
Di sisi lain, permintaan global juga mengalami penurunan. Meski laju inflasi diperkirakan menurun, namun levelnya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
“Ini menggambarkan pergulatan kebijakan pada level makro dan moneter masih akan menjadi suatu tema yang sangat dominan,” kata Sri Mulyani.
Selain permasalahan tersebut, eskalasi geopolitik di Ukraina dan yang terjadi di antara negara besar di dunia juga masih membayangi perekonomian global. Debt distress, terutama di negara berkembang maupun di negara maju juga menghalangi pemulihan ekonomi.
“Beberapa negara sektor keuangannya mengalami kerapuhan, inflasi tinggi dan suku bunga yang meningkat menjadi salah satu faktor yang mengerosi pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut,” kata dia.
Dari sisi PMI Manufaktur, imbuhnya, juga mencerminkan tekanan yang masih sangat tinggi. Di antara negara G20 dan Asean-6, hanya 24 persen negara yang berada pada posisi ekspansi dan meningkat, diantaranya India, Filipina, Rusia, Jepang, dan China. Sementara itu, negara yang berada di zona ekspansi hanya 14 persen termasuk Indonesia, Thailand, dan Mexico.
“Mayoritas negara PMI manufakturnya dalam kondisi kontraksi, ini memang menggambarkan aktivitas dari PMI manufaktur, kondisi ekonomi keseluruhan dan pertumbuhan ekonomi global termasuk perdagangan global mengalami pelemahan,” jelas Sri Mulyani.
(Sumber: Bisnis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Setoran Dividen BUMN untuk APBN Dialihkan ke Danantara, Kementerian Keuangan Putar Otak
- Nilai Investasi Pabrik Kendaraan Listrik di Indonesia Tembus Rp15,1 Triliun
- Asosiasi E-Commerce Diajak untuk Mencegah Perdagangan Ilegal Satwa Liar
- Serapan Tenaga Kerja DIY Capai 34.950 Orang dalam Setahun
- Pengin Menabung di Deposito? Berikut Bunga Deposito BCA, Mandiri, BNI, dan BRI Terbaru
Advertisement

Kegiatan Padat Karya di Gunungkidul Turun Drastis Tahun Ini, Begini Penjelasan Pemkab
Advertisement

Jembatan Kaca Seruni Point Perkuat Daya Tarik Wisata di Kawasan Bromo
Advertisement
Berita Populer
- Tak Ingin Ada Diskriminasi Usia dalam Rekrutmen Tenaga Kerja, Menaker Bakal Sisir Aturan Batasan Usia
- Pemerintah Pusat Siapkan Inpres Infrastruktur untuk Bantu Daerah
- Setoran Dividen BUMN untuk APBN Dialihkan ke Danantara, Kementerian Keuangan Putar Otak
- Harga Emas Antam, UBS, dan Galeri24 Kompak Turun Hari Ini 9 Mei 2025
- Harga Pangan Hari Ini 9 Mei 2025: Daging Ayam dan Cabai Naik
- BI Catat Indeks Keyakinan Konsumen pada April 2025 Meningkat
- Hingga Maret 2025, Realisasi Belanja APBN di DIY Capai Rp4,66 Triliun
Advertisement