Advertisement
Ekonom Nilai Tidak Ada Urgensinya PPN Naik 12 Persen Awal 2025
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA — Senior Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, menilai urgensi kenaikan tarif PPN 12% pada 2025 hanya dilakukan karena termaktub dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diteken pada 2021.
Adapun, keinginan pemerintah menambah penerimaan negara lewat kenaikan PPN dikhawatirkan memukul daya beli masyarakat saat ini.
Advertisement
Hal itu disampaikan Fithra bahwa semangat menaikkan PPN dalam Undang-Undang (UU) No.7/2021 yang diteken pada tiga tahun silam sudah berbeda dengan kondisi sekarang.
Kala itu, defisit fiskal diperbolehkan di atas 3% dan berdampak pada pembiayaan yang cukup besar. Melalui semangat untuk menambah penerimaan negara, PPN naik menjadi 11%.
“Saat itu semangatnya bisa dimengerti. Dengan semangat itu kalau kita translasikan ke sekarang ya sebenarnya sudah enggak relevan lagi karena sekarang pun defisitnya [APBN 2024] mungkin enggak sampai 2%,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (4/12/2024).
Melihat realisasi defisit APBN 2024 yang mencapai 1,37% dari PDB atau setara Rp309,2 triliun per Oktober 2024. Fithra meyakini defisit akan lebih rendah dari target sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29% dari PDB.
Artinya, akan ada potensi tambahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang dapat menutup defisit APBN tahun depan tanpa menggunakan utang.
BACA JUGA: PPN 12 Persen, Beban Milenial dan Gen Z Diprediksi Makin Berat
Fithra memandang belum ada urgensi penerapan PPN 12% pada tahun depan, kecuali amanah UU HPP. Sementara peraturan tersebut, nyatanya bisa diintervensi melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu.
Sebagaimana UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara yang tidak membolehkan defisit melebihi 3%. Namun pada pandemi Covid-19, pemerintah menerbitkan Perppu yang kemudian menjadi UU No.2/2020 dengan memperkenankan defisit melebihi ketentuan awal.
Menurutnya, pemerintah punya cara lain untuk menambah pendapatan negara selain mengorbankan daya beli masyarakat dengan kenaikan PPN menjadi 12%. Salah satunya melalui peraturan teranyar PMK No. 88/2024 yang memperkenankan pinjaman dari SAL APBN kepada BUMN, BUMD, pemerintah daerah, atau Badan Hukum Lainnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal turut melihat tidak ada urgensi untuk menambah beban masyarakat. Mengingat, kemampuan ekonomi masyarakat dan dunia usaha sama-sama sedang menurun.
“Ketika PPN naik akan semakin menekan tingkat konsumsi dan produksi dan mengurangi transaksi barang jasa. Tarif naik, tapi volume transaski turun. Jadi tidak signifikan meningkatkan penerimaaan negara, malahan buruk bagi ekonomi,” tuturnya, Rabu (4/12/2024).
Semestinya, peningkatan penerimaan ini disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada dan bukan dengan PPN.
Misalnya, melalui Pajak Penghasilan (PPh) progresif yang menyasar kalangan atas. Saat ini, tarif PPh Pasal 21 yang berlaku mulai dari 5% bagi karyawan yang menerima gaji Rp60 juta per tahun, hingga 35% bagi penghasilan lebih dari Rp5 miliar per tahun.
Selain dari meningkatkan penerimaan, pemerintah dapat memilah pengeluaran yang dan mengurangi risiko kebocoran dari APBN.
“Kalangan atas kondisinya sekarang baik, yang turun kan kelas menengah. Kalangan bawah relatif stabil karena mereka umumnya tidak terkena PPh dan masih mendapatkan bantuan dari pemerintah,” lanjutnya.
Menunggu Kepastian PPN 12%
DPR mengungkapkan pemerintah tidak membuka pembicaraan terkait rencana penundaan PPN 12%, sebagaimana diserukan oleh masyarakat yang keberatan dengan kebijakan efektif per 1 Januari 2025 tersebut.
Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad menyampaikan terkait potensi adanya Perppu pun sangat minimal mengingatpekan depan DPR sudah memasuki masa reses.
Artinya, tidak ada pengambilan keputusan kebijakan di luar masa sidang, kecuali adanya keadaan urgent atau genting.
“Belum pernah [ada ajakan untuk membahas penundaan PPN] karena saya kira kami konsisten sesuai dengan Undang-Undang HPP,” ujarnya kepada media massa, Selasa (3/12/2024) malam.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah akan menyampaikan kepada publik terkait kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada pekan depan.
Hal tersebut dirinya sampaikan di kantor Kemenko Perekonomian usai menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) Kebijakan dan Insentif Fiskal untuk mendorong Perekonomian dan Menarik Investasi, Selasa (3/12Atau 2024) sore.
“Nanti diumumkan minggu depan,” ujarnya menanggapi pertanyaan media massa soal kepastian PPN 12%.
Sebelumnya, saat rapat tersebut usai dan para menteri mulai meninggalkan kantor Airlangga, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih bungkam terkait rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang rencananya mulai pada 1 Januari 2025.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Program Makan Bergizi Gratis Incar Pengusaha Kuliner Lokal, PPJI DIY: Baru Penawaran Sewa Dapur
- Ombudsman Sebut Pengaturan Pupuk Bersubsidi Perlu Payung Hukum
- Luhut Sebut Rencana Kenaikan PPN 12 Persen Awal 2025 Kemungkinan Ditunda
- 4 Keuntungan Memakai Rak Dapur Terbuka di Rumah
- Ribuan Orang Teken Petisi Tolak PPN 12 Persen
Advertisement
Genjot Wisatawan ke Mangunan, Akademisi UMY Berikan Saran Ini
Advertisement
Wisata ke Galeri Lokananta Solo Menyusuri Jejak Dunia Musik Indonesia
Advertisement
Berita Populer
- Ekonom Nilai Tidak Ada Urgensinya PPN Naik 12 Persen Awal 2025
- Biaya MDR QRIS Gratis hingga Rp500 Ribu, BI DIY Berharap Penggunanya Meningkat
- Harga Daging Ayam dan Minyak Goreng Turun, Telur Ayam Naik
- Berpetualang Keliling Dunia dalam Perayaan Nataru di Hyatt Regency Yogyakarta
- Kemenperin Siapkan Intensif bagi Industri Terkait Besaran UMP
- Pembayaran Digital di DIY Bertumbuh, Jumlah Pengguna QRIS Mencapai 900 Ribu Lebih
- Pengaturan Ulang Subsidi BBM, Menteri UMKM Pastikan Driver Ojol Tetap Dapat
Advertisement
Advertisement