Advertisement
Penguatan Dolar Tak Pengaruhi Biaya Produksi Sektor Kerajinan
Ilustrasi UMKM - Bisnis Indonesia/Rachman
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kenaikan mata uang dolar Amerika Serikat (AS), sedikit banyak akan memengaruhi produk lokal yang masih bergantung pada bahan baku impor. Kendati demikian, pada kondisi melemahnya rupiah, perkembangan impor DIY justru mengalami kenaikan sebesar 8,21%.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY JB.Priyono mengungkapkan nilai impor pada Agustus tercatat mencapai US$974.000 [Rp14,8 miliar] atau mengalami kenaikan 8,21% dari bulan sebelumnya. Komoditas impor DIY sebagian besar berasal dari Papua Nugini, Hong Kong, Tiongkok, Jepang dan India.
Advertisement
“Kenaikan impor terbesar dari Papua Nugini dengan dominasi mencapai 63,43 persen. Nilai impor yang tercatat dari negara ini mencapai US$618.000 [Rp9,3 miliar],” ujar Priyono, Jumat (12/10).
Priyono memaparkan secara keseluruhan besaran nilai impor Agustus 2018 menunjukkan peningkatan. Peningkatan impor berasal dari Papua Nugini sebesar 49,91%, dari Hong Kong mencapai 77,31% dan India dengan kenaikan mencapai 34,51%. Sedangkan dua negara asal impor yakni Tiongkok dan Jepang mengalami penurunan.
BACA JUGA
“Komoditas impor yang tertinggi yakni kopi, teh dan rempah-rempah. Sedangkan komoditas impor lainnya yakni filamen buatan, kain tenun berlapis, jangat dan kulit mentah serta kain tenunan khusus,” imbuh Priyono.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY Trisaktiyana mengungkapkan selama ini ketergantungan bahan baku impor untuk industri di DIY belum terlalu besar. Terlebih ekspor DIY sebagian besar bukan komoditas manufaktur yang cenderung bergantung pada bahan baku impor.
Produk ekspor DIY sebagian besar masih didominasi oleh kerajinan, sehingga biaya produksi lebih banyak dikeluarkan untuk tenaga kerja dan ide atau kreativitas produk. Sakti mencontohkan apabila harga kain batik dipatok Rp200.000, maka biaya bahan baku mungkin hanya sekitar Rp50.000.
“Sedangkan Rp150.000 itu untuk biaya tenaga kerja dan kreativitas ide atau desain produk yang mahal. Sedangkan produk impornya paling pewarna dan kain, yang mungkin hanya sekitar Rp5.000 yang keluarkan,” ungkap Sakti.
Sakti menegaskan pengaruh nilai dolar yang terus menguat ini belum memberikan pengaruh besar terhadap produk ekspor DIY. Berbeda dengan daerah lain seperti Semarang, Jawa Tengah dan Jawa Barat yang memang memiliki berbagai industri manufaktur besar yang sebagian besar produksinya membutuhkan bahan baku impor.
“Pengaruhnya, jelas akan lebih terasa, dibandingkan DIY. Kendati demikian, jika memang bahan baku impor yang dibutuhkan itu penting dan harganya semakin mahal, maka kami akan mengimbau kepada pelaku indistri untuk mencari subtitusi dari bahan baku impor yang mungkin bisa diperoleh dari lokal,” jelas Sakti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Penjualan Tiket Kereta Api Jarak Jauh Melonjak hingga Jutaan Kursi
- Pendapatan Box Office Disney 2025 Tembus Rp100 Triliun
- Harga Pangan Nasional di Hari Natal: Cabai hingga Telur
- Upah Minimum Naik, Industri Tekstil Waspadai PHK dan Otomatisasi
- Harga Emas Antam Naik Rp11.000, Kini Rp2.502.000 per Gram
Advertisement
Advertisement
Monas Ramai Dikunjungi 130 Ribu Wisatawan Saat Libur Natal 2025
Advertisement
Berita Populer
Advertisement
Advertisement




