Advertisement
Bagasi Berbayar Rugikan Berbagai Pihak
Petugas mendata barang pemudik sebelum di masukkan ke bagasi pesawat di Bandara Internasional Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (13/6/2018)./JIBI - Antara/ Umarul Faruq
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Penerapan kebijakan bagasi berbayar pada beberapa maskapai Low Cost Carrier (LCC), tak hanya dianggap merugikan bagi penumpang tetapi juga berbagai pihak lain seperti travel agent dan pebisnis oleh-oleh. Sepekan setelah kebijakan ini diterapkan, protes telah bermunculan.
Koordinator Bidang Layanan dan Pengaduan Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), Intan Nur Rahmawanti mengakui pasca-penetapan kebijakan bagasi berbayar ada beberapa aduan yang masuk ke LKY terkait permasalahan ini. Menurutnya, aduan bukan berasal dari perorangan, melainkan berasal dari pihak travel agent yang merasa dirugikan dengan kebijakan ini.
Advertisement
"Misalnya sudah pesan tetapi enggak jadi pakai jasanya karena masalah bagasi berbayar ini. Selain itu ada pula kasus sudah mau terbang pulang tetapi harus membayar bagasi untuk oleh-oleh sampai Rp3 juta, ini yang saya tahu persis. Ini kan merugikan banyak pihak," katanya kepada Harian Jogja, Kamis (31/1).
Intan menyesalkan kebijakan ini membuat harga maskapai LCC sama saja dengan maskapai full service tetapi dengan tingkat layanan yang berbeda. Dengan demikian bukan tidak mungkin konsumen akan lebih memilih transportasi darat seperti bus dan kereta api yang tidak menerapkan tarif untuk barang bawaan. Opsi tersebut dianggap lebih masuk akal bagi konsumen dengan tuntutan mobilitas tinggi tetapi memiliki bujet yang terbatas. "Padahal konsumen memilih pesawat karena waktu tempuhnya yang lebih singkat dibandingkan angkutan darat," ujarnya.
BACA JUGA
Pengamat penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC), Arista Atmadjati menyatakan meski kebijakan bagasi berbayar diperbolehkan dan umum diterapkan di negara lainnya, kebijakan ini menimbulkan masalah tersendiri di Indonesia. Pasalnya setelah bepergian jauh menggunakan moda transportasi udara, biasanya masyarakat Indonesia akan pulang membawa oleh-oleh. Apalagi jika seusai berjalan-jalan ke daerah lain di luar pulau atau bahkan lintas negara. Bukan hanya untuk keluarga sendiri, kawan dan relasi biasanya juga banyak yang menitip untuk dibelikan oleh-oleh. Hal ini menurutnya tak terjadi pada kultur Eropa dan Amerika yang tidak mengenal budaya membawa oleh-oleh tersebut.
"Tidak heran jika ada yang membawa oleh-oleh lebih banyak dibandingkan barang bawaannya sendiri. Bayangkan saja jika untuk membawa oleh-oleh harus membayar Rp900.000 padahal harga oleh-olehnya hanya Rp100.000 sampai Rp200.000," ucapnya.
Jika kebijakan ini tidak ditinjau ulang, Arista khawatir dalam jangka panjang akan berdampak pada bisnis oleh-oleh di daerah wisata. Pasalnya masyarakat akan menimbang apakah perlu membawa oleh-oleh saat pulang atau bahkan mengurangi belanjanya. Hal itu tentu akan berdampak pada penurunan omzet para pebisnis. "Maskapai boleh lah cari pendapatan lain di luar tiket pesawat tapi jangan sampai kebablasan gini. Harus dipertimbangkan kerugiannya juga," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Siswa SMP Kulonprogo Terjerat Judol dan Pinjol Kini Sekolah Daring
Advertisement
Desa Wisata Adat Osing Kemiren Banyuwangi Masuk Jaringan Terbaik Dunia
Advertisement
Berita Populer
- Harga Emas Logam Mulia Antam, UBS dan Galeri24 Hari Ini Anjlok Lagi
- Lampung Jadi Kandidat Lokasi Pabrik Etanol Toyota di Indonesia
- Pemerintah Akui Efisiensi Investasi RI Masih Kalah dari Vietnam
- Indonesia Surplus 4 Juta Ton Beras, Tak Lakukan Impor Tahun Ini
- Regulasi UMP 2026 Masih Disusun, Menaker Pastikan Libatkan Buruh
- Kemnaker Siapkan Perpres Ojol, Tekankan Aspek Keadilan Kerja
- HIPPI Gelar Rakernas 2025 di Jogja, Bahas Kedaulatan Ekonomi
Advertisement
Advertisement



