Advertisement
Pengamat: Kenaikan PPN Tak Efektif untuk Mendorong Penerimaan Pajak
Pengunjung berjalan di area pusat perbelanjaan Boxies123 Mall, Tajur, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/6/2021) yang sepi pengunjung. - Antara Foto/Arif Firmansyah
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA — Pemerintah menargetkan tingkat defisit APBN kembali ke 3 persen pada 2023. Tanpa adanya kenaikan sumber penerimaan negara, khususnya pajak, target tersebut diperkirakan sulit tercapai.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, hal inilah yang menjadi alasan mengapa pemerintah dan DPR segera menyepakati RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Advertisement
Namun demikian, Tauhid menilai langkah agresif pemerintah dalam mendorong penerimaan melalui RUU HPP akan sulit menutup defisit APBN.
BACA JUGA : Siap-Siap! Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen di 2022
Dia mengatakan, memulihkan penerimaan negara tidak mudah dilakukan dalam kondisi pemulihan ekonomi. Pasalnya, penerimaan negara, khususnya pajak juga sangat bergantung pada dunia usaha, misalnya sektor manufaktur dan perdagangan.
Di samping itu, tingkat konsumsi masyarakat masih lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi pemerintah maupun ekspor impor. Hal ini menyebabkan sumber penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) pun tertekan.
Oleh karenanya, Tauhid menyampaikan rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022 tidak akan efektif mendorong penerimaan pajak, justru akan menghambat pemulihan ekonomi.
“Justru ini menjadi kontraproduktif ketika proses pemulihan ekonomi, tapi kenaikan ppn jadi 11 persen, justru akan menghambat,” katanya dalam acara diskusi virtual, Rabu (6/10/2021).
Tauhid menyampaikan, permasalahan basis penerimaan negara yang rendah hingga saat ini bukan dikarenakan tarif yang rendah. Dia menyampaikan tiga penyebab utama yang menyebabkan basis penerimaan negara rendah.
Pertama, basis penerimaan perpajakan di Indonesia menurutnya belum mampu menangkap perkembangan aktivitas perekonomian riil, misalnya pada sektor informal dan ekonomi digital.
BACA JUGA : Kenaikan PPN Sembako Tak Berpihak pada Rakyat
Kedua, belanja perpajakan pemerintah untuk pemberian insentif hingga 2020 sangatlah besar. Tercatat, belanja pajak pemerintah mencapai sekitar Rp234 triliun.
“Artinya yang seharusnya bisa dipungut jadi penerimaan negara tapi tidak dipungut, itu juga salah satu masalah ketika belanja pajak belum bisa lebih efisien,” jelasnya.
Ketiga, Tauhid menambahkan, tingkat kepatuhan perpajakan masih rendah, baik wajib pajak badan maupun orang pribadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Hungaria Catat Rekor Redenominasi Terbesar, Hapus 29 Nol Sekaligus
- Tiket Nataru 2025 KAI Jogja Sudah Bisa Dipesan Mulai 3 November
- Pasar Properti DIY Dibidik Tumbuh Menjelang Akhir Tahun
- Layani UMKM, BTN Ekspansi Kredit Perumahan di DIY
- Pakar: Banyak Tol Sepi karena Tarif Mahal dan Salah Perencanaan
Advertisement
Tumpahan Solar di Jalan Jogja-Wonosari, Pemotor Diimbau Hati-hati
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Harga Emas Hari Ini, Logam Mulia Antam, UBS dan Galeri24 Kompak Naik
- Bea Cukai Jogja dan Magelang Musnahkan Barang Ilegal Senilai Rp2,5 M
- Ekspor DIY ke AS Tumbuh 6,77 Persen Meski Tarif Trump Berlaku
- Harga Emas Antam Hari Ini Sentuh Rp2,367 Juta per Gram
- Harga Cabai Rawit Rp38.900, Telur Ayam Rp31.450 per Kg
- Cara Cek dan Daftar Pemutihan Iuran BPJS Kesehatan November
- Hungaria Catat Rekor Redenominasi Terbesar, Hapus 29 Nol Sekaligus
Advertisement
Advertisement




