Advertisement

Promo November

Ekonom Dukung Keputusan BI Tahan Suku Bunga 6 Persen

Anisatul Umah
Kamis, 17 Oktober 2024 - 13:02 WIB
Sunartono
Ekonom Dukung Keputusan BI Tahan Suku Bunga 6 Persen Bank Indonesia - Ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA— Ketua Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Purnawan Hardiyanto mendukung keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan atau BI Rate 6%, sebagai bentuk langkah kehati-hatian dari BI.

Dia menjelaskan sebelumnya BI sudah menurunkan BI Rate menjadi 6% mengikuti penurunan suku bunga acuan Bank Sentral AS atau atau The Federal Reserve (The Fed). Menurutnya Indonesia sedang bermasalah dari sisi kebijakan fiskal karena APBN terbatas dalam melakukan manuver untuk menggairahkan perekonomian.

BACA JUGA : BI Rate Naik, Penjualan Properti di DIY Terancam Lesu

Advertisement

"Saya kira mempertahankan BI Rate merupakan langkah kehati-hatian BI," ucapnya, Kamis (17/10/2024).

Purnawan mengatakan peliknya sisi kebijakan fiskal yang sedang dihadapi Indonesia mendorong Presiden terpilih Prabowo Subianto meminta Sri Mulyani kembali menjabat Menteri Keuangan (Menkeu). Dalam situasi seperti ini sulit mencari sosok pengganti yang bisa dipercaya para pelaku ekonomi.

Menurutnya kolaborasi Menkeu sebagai pembuat kebijakan fiskal dan Gubernur BI, Perry Warjiyo yang jabatannya masih panjang sebagai pembuat kebijakan moneter mestinya mendapat kepercayaan para pelaku ekonomi. Selama ini penerimaan pelaku ekonomi pada keduanya sangat positif.

"Dalam situasi sisi fiskal yang relatif lebih pelik inilah saya kira wajar jika saat ini BI tetap mempertahankan BI Rate," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan jika BI Rate diturunkan lagi bisa membuat orang yang menyimpan uangnya di bank berteriak. Begitu juga sebaliknya, jika dinaikkan pengusaha yang akan mengajukan pinjaman di bank untuk investasi akan teriak.

Sebab jika bunga bank naik akan membuat perhitungan bisnisnya tidak masuk karena pasar sedang lesu. Memang sangat dilematis bagi BI dalam situasi seperti ini. "BI harus hati-hati, perekonomian sedang lesu," lanjutnya.

Lulusan S2 Economics of Development the Australian National University (ANU) ini menjelaskan ekonomi global sedang lesu dampak dari perang sanksi ekonomi akibat invasi Rusia ke Ukraina yang tak kunjung selesai. Ia menduga Rusia sengaja memperlama perang agar dampak ekonominya sampai ke negara-negara Barat.

Secara teori ekonomi, jika perekonomian sedang lesu maka bank sentral harus menurunkan suku bunga acuan supaya sektor swasta semangat melakukan investasi. Baik untuk pengembangan bisnis yang sudah ada atau membuat bisnis baru.

"Tetapi sulitnya adalah daya beli masyarakat sedang lesu sehingga membuat pengusaha cenderung menunda investasinya," jelasnya.

BACA JUGA : Daya Beli Menurun, Pengusaha Ritel Usulkan Adanya Stimulasi

Dia menyebut secara teori untuk meningkatkan daya beli masyarakat, seharusnya pemerintah memberi stimulus atau rangsangan berupa kelonggaran pajak dan pemberian subsidi. Akan tetapi terbentur kemampuan APBN yang sedang sangat terbatas.

"APBN kita sedang punya beban berat karena adanya pembayaran beban utang yang jatuh tempo sehingga perlu peningkatan target penerimaan dari sektor pajak."

Senada, Ketua Komtap Pembinaan dan Pengembangan Sekretariat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DIY, Timotius Apriyanto juga mendukung keputusan BI mempertahankan BI Rate 6%. Dia menyebut reaksi pasar Indonesia belum dewasa seperti di AS yang menggunakan floating rate.

Pasar di Indonesia jika terjadi perubahan terlalu cepat dikhawatirkan tidak akan efektif di tingkat operasional. "Menurut pandangan saya tetap di 6%. Reaksi pasar di Indonesia kan belum mature," ucapnya.

Kendalikan Inflasi 

Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI 15-16 Oktober 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.

Ia mengatakan keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5 plus minus 1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fokus kebijakan moneter jangka pendek pada stabilitas nilai tukar Rupiah karena meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Kedepan, BI terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan dengan tetap memperhatikan prospek inflasi, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran juga terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

"Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian," katanya.

Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Hindari Kerusakan, Distribusi Logistik Pilkada 2024 Dibungkus Plastik Berlapis

Sleman
| Minggu, 24 November 2024, 09:27 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement