Advertisement
Dari Resesi, Muncul Depresi Ekonomi, Siapkah Indonesia?
Foto aerial kendaraan melintas di Simpang Susun Semanggi pada jam berangkat kerja di Jakarta, Senin (23/3/2020). Sejumlah ruas jalan utama tampak lebih lengang pada jam berangkat kerja. Hal ini karena sebagian perusahaan telah menerapkan bekerja dari rumah guna menekan penyebaran virus corona. Bisnis - Himawan L Nugraha
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA-Ekonomi Indonesia dipastikan akan mengalami kontraksi pada kuartal ketiga tahun ini. Artinya, Indonesia akan memasuki fase resesi ekonomi.Jika bertahan dalam kurung waktu lama, resesi akan berubah menjadi depresi ekonomi, siapkah Indonesia?
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III/2020 akan terkontraksi lebih dalam, pada kisaran -2,9% hingga -1,0%.
Advertisement
Pemerintah pun memproyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berada pada kisaran -1,7% hingga -0,6%. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan -1,1%, dengan batas atas masih positif 0,2%.
Sebagaimana diketahui, depresi ekonomi merupakan resesi yang terjadi selama lebih dari satu tahun. Depresi ekonomi terjadi jika kontraksi ekonomi terus berlanjut. Dampaknya pasti lebih besar dari resesi. Depresi pernah tercatat dalam sejarah, terjadi pada 1929-1934, di mana great depression berlangsung hingga 5 tahun.
BACA JUGA
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia dapat jatuh pada jurang depresi ekonomi bila resesi berlanjut hingga 2021.
"Semakin lama pandemi teratasi, semakin lemah daya beli masyarakat, dan semakin besar kelas menengah atas saving di bank untuk menghindari resiko," katanya kepada Bisnis.com, jaringan Harianjogja.com, Senin (28/9/2020).
Harga Barang Turun
Bhima menjelaskan, salah satu indikator depresi adalah terjadi deflasi yang cukup dalam, di mana harga barang tidak naik melainkan menurun. Sementara, pada tahun ini, deflasi yang telah terjadi yakni pada bulan Juli tercatat deflasi -0,1% dan Agustus -0,05%.
Dia mengatakan, deflasi di tengah situasi resesi mengindikasikan sisi permintaan mengalami gangguan sehingga produsen dan pedagang tidak menaikkan harga justru menjual dengan harga diskon, khususnya bahan pangan.
Jika depresi terjadi, dampak yang akan ditimbulkan jauh lebih parah dari resesi. Tidak hanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masal, tetapi juga akan terjadi kebangkrutan massal di sektor industri secara permanen. dan bukan temporer.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Upah Minimum Naik, Industri Tekstil Waspadai PHK dan Otomatisasi
- Harga Emas Antam Naik Rp11.000, Kini Rp2.502.000 per Gram
- KSPI Perkirakan Kenaikan UMP 2026 Hanya 4-6 Persen
- Penundaan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Dinilai Tepat
- Promo Libur Nataru Pertamina: BBM, Bright Gas, dan Hotel Patra Jasa
Advertisement
Advertisement
Jogja Puncaki Urutan Destinasi Favorit Liburan Keluarga Akhir Tahun
Advertisement
Berita Populer
- Harga Emas Hari Ini, Antam, UBS, Galeri24 Meroket
- Belanja APBN DIY Capai Rp18,77 Triliun, TKD Nyaris Tuntas
- Rupiah Menguat Terbatas, Dolar Ditahan Sentimen Nataru
- Kementrans Ajukan Pengalihan Anggaran Rp140 Miliar untuk Sumatera
- Menkeu Pastikan Dana Bencana Sumatera Aman, MBG Tetap Jalan
- Polisi Temukan Dugaan Kasus Pertalite Dicampur Air, SPBU Ditutup
- Amankan Nataru, Pertamina Perkuat Stok Elpiji 3 Kg Jateng-DIY
Advertisement
Advertisement




