Advertisement
Dolar Menguat, Seharusnya Ekspor Berjaya tetapi ....
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Tren pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai 6,05% sepanjang tahun ini. Situasi ini memberikan dampak negatif dan positif. Bagi pelaku ekspor, sebenarnya situasi ini laiknya bonus. Kendati demikian situasi tersebut tidak berjalan dalam tataran ideal.
Salah satu penyebab adalah ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor dan kinerja ekspor yang masih mengandalkan komoditas mentah membuat performa ekspor menjadi tak maksimal.
Advertisement
Mayoritas komoditas ekspor andalan di Tanah Air memang mencatatkan kenaikan ekspor sepanjang Januari-Mei tahun ini, tetapi tidak signifikan jika mempertimbangkan adanya faktor pelemahan rupiah.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan sektor manufaktur didera problem ketergantungan bahan baku impor yang cukup tinggi. Alhasil, ketika rupiah melemah, biaya impor bahan baku menjadi lebih tinggi, sehingga menekan para pelaku industri.
“Kalau kita lihat, dengan impor kita yang masih besar, pelemahan rupiah ini justru menjadi tsunami kecil bagi sektor manufaktur, bahkan manufaktur yang berbasis ekspor sekalipun,” ujar Enny.
Dia juga menilai kenaikan nilai ekspor sejumlah komoditas ekspor utama yang tidak terlalu signifikan dan diiringi oleh penurunan permintaan di negara tujuan lebih disebabkan oleh tren di pasar internasional.
“Nilai ekspor memang tumbuh moderat, tetapi volumenya tetap atau paling tumbuh tipis. Pasalnya, yang memengaruhi adalah kondisi permintaan global, bukan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Selama permintaan secara global masih melempem, dia menilai aktivitas ekspor tidak akan mengalami perubahan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Shinta W. Kamdani mengatakan sekalipun ada beberapa industri berbasis ekspor yang diuntungkan dari depresiasi rupiah, masih banyak lini industri yang gagal memanfaatkannya untuk mendorong ekspor.
“Industri manufaktur yang paling diuntungkan adalah yang menggunakan bahan baku dalam negeri dan tidak menggunakan bahan baku impor dan tentu saja ini sangat terbatas.”
Belum lagi, daya saing komoditas ekspor andalan Indonesia masih kalah dengan negara tetangga. Masih banyaknya rencana kerja sama perdagangan internasional yang tertunda juga membuat komoditas ekspor potensial sulit berkembang.
Selain itu, ketergantungan ekspor Indonesia terhadap komoditas mentah juga masih tinggi. Alhasil, ketika harga komoditas rendah, kontribusi ekspor dari sektor tersebut juga rendah.
Sejumlah pelaku usaha di sektor tersebut juga sepakat bahwa momentum pelemahan rupiah memang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, nilai ekspor tidak meningkat signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kunjungi Washington DC, Ini Oleh-Oleh yang Dibawa Menkeu untuk Indonesia
- BI Rate Naik, Ekonom Berharap Bunga KUR Tak Ikut Naik
- Proyek Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Luhut Bentuk Tim Khusus
- Airlangga Nilai Nilai Tukar Rupiah Lebih Baik Dibandingkan Negara Lain
- Nilai Tukar Rupiah Remuk Akibat Konflik Iran-Israel, Ini Proyeksi Ekonom
Advertisement
Catat! Ini Jadwal dan Lokasi SIM Keliling di Jogja Sabtu 27 April 2024
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Hari Ini Harga Telur Ayam Terpantau Naik hingga Rp31 Ribu per Kilogram
- Per Maret 2024, APBN Surplus Rp8,1 Triliun
- Biaya Pembangunan IKN Mencapai Rp72,1 Triliun dari APBN
- UMKM DIY Bisa Manfaatkan Securities Crowdfunding Sebagai Alternatif Pendanaan Selain Perbankan
- Kadin DIY Optimis Ekonomi Masih Stabil di Tengah Pelemahan Rupiah
- Digitalisasi Keuangan Daerah, BPD DIY Dukung Penuh Pemkot Jogja
- Journalist Competition Astra Motor Yogyakarta Kembali Digelar
Advertisement
Advertisement