Advertisement

Sarisa Merapi, Harga Salak Murah Awal dari Berkah

Sirojul Khafid
Kamis, 21 Maret 2024 - 05:27 WIB
Ujang Hasanudin
Sarisa Merapi, Harga Salak Murah Awal dari Berkah Rini saat berada di rumah produksi Sarisa Merapi, Sleman, Sabtu (2/3/2024). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Keresahan murahnya harga salak ‘memaksa’ para petani di Sleman untuk berinovasi. Produk berupa manisan salak dan turunannya kini justru menjadi andalan wilayah berjuluk Sembada tersebut.

Rini Handayani cukup resah dengan harga salak tahun 2016. Kala itu, dia yang tinggal di Kemiri, Purwobinangun, Pakem, Sleman menjadi petani dan pedagang salak. Harga per kilogram (kg) salak Rp800. Padahal biasanya per kg mencapai Rp5.000. Sebagai pengibaratan, harga beras saat itu sekitar Rp8.000 per kg. Sehingga untuk membeli sekilogram beras, perlu menjual 10 kg salak. Itu belum termasuk bumbu sampai lauk pauknya.

Advertisement

Ada beberapa alasan harga salak murah. Dari adanya panen raya, permainan tengkulak, sampai petani salak yang semakin banyak bertebaran di Sleman. Sehingga penawaran salak di pasar lebih besar daripada permintaannya.

“Ini kalau enggak berinovasi agak sulit. Di sekitar sini tidak ada sawah, hanya salak. Akhirnya kami mengolah salak menjadi manisan, agar nilai jualnya lebih tinggi,” kata Rini, saat ditemui di tempat usahanya, Kemiri, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Sabtu (2/3/2024). “Tapi inovasi ini diragukan para anggota kelompok wanita tani, dianggap enggak realistis, siapa yang akan beli olahan salak, salak aja dijual enggak laku.”

Meski banyak yang ragu, produksi manisan salak tetap berlangsung. Bermodal berbagai pelatihan, percobaan, serta trial and error, manisan salak bermerk Sarisa Merapi berhasil dibuat. Sarisa merupakan singkatan Sari Salak. Merapi, lantaran mereka tinggal di desa ketiga teratas dari Merapi. Sarisa Merapi di dalam naungan Kelompok Wanita Tani (KWT) Kemiri Edum.

Rini ingat sekali, penjualan pertama produk manisan salaknya berada di Lapangan Denggung Sleman. Ada event pemecahan rekor MURI makan salak bersama terbanyak, pada 25 Desember 2016. Rini dan KWT Kemiri Edum mengisi salah satu stan penjualan makanan.

“Saya membawa 100 pack plastik, isinya enam bungkus manisan salak. Kami mulai jualan jam 07.00 WIB, dengan rencana pulang jam 15.00. Ternyata jam 09.00 udah habis. Dari situ kemudian tumbuh percaya diri, ternyata diminati masyarakat,” kata Rini, yang saat ini berusia 50 tahun.

Respon pasar yang baik, serta penjualan yang meningkat secara bertahap, membuat anggota kelompok menjadi percaya. Inovasi ternyata bisa berbuah manis. Sejak saat itu, mereka konsisten memproduksi manisan salak.

Entah sedang ramai atau sepi, produksi tetap sama. Rini menganggap stok perlu terus ada apabila sewaktu-waktu ada pembeli yang datang. Justru misal barang kosong dan kebetulan ada yang mencari, maka dia tidak akan datang lagi. Kini, produk Sarisa Merapi tersebar di berbagai toko di Sleman.

Tidak hanya manisan, produk berkembang ke jenis lain. Sarisa Merapi menargetkan setiap tahun setidaknya ada satu produk baru. Saat ini mereka menjual manisan salak, sari salak, dodol salak, pai salak, brownies salak, sampai tepung salak. Hampir semua bagian salak bisa diolah, termasuk biji dan kulitnya. Biji salak diolah menjadi kopi, sementara kulit salak menjadi teh. Untuk manisan salak, harganya Rp25.000 per pack, dengan isi enam gelas kecil.

Di samping olahan salak, ada pula produksi tepung pisang, tepung kedelai, tepung kacang hijau, sampai teh bunga telang. “Manisan salak tetap menjadi best seller kami, produk pertama dan utama. Yang lain meski tidak seramai manisan salak, namun ada pasarnya masing-masing,” katanya. “Inovasi produk setiap tahunnya agar kami tidak stagnan, terus berprogres.”

Pernah dalam sebulan, omzet Sarisa Merapi mencapai Rp240 juta. Mereka juga menyabet penghargaan UKM Awards baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Termasuk pada 2017, Sarisa Merapi mendapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara dan 2019 Rekor Muri sebagai Tulisan dari Rangkaian Dodol Salak Terpanjang. Pada tahun 2019 pula, Sarisa Merapi bisa membangun rumah produksi yang lebih besar dan dengan fasilitas yang semakin lengkap.

Meski bulan madu kesuksesan ini perlu mereda, saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sarisa Merapi yang banyak menjadi produk di toko oleh-oleh terdampak sektor pariwisata yang mati suri. Usaha mereka pun ikut mati suri.

Untungnya, dukungan dari pemerintah kabupaten, provinsi, bahkan pusat bisa membuat Sarisa Merapi bertahan meski tertatih. Dalam proses berusaha bangkit itu pula, Rini riset produk yang cocok untuk masa Covid-19 dan ke depannya. Itu awal kemunculan teh telang. Produk tersebut yang cukup menyelamatkan dapur produksi mereka tetap bekerja selama pandemi.

“Saya lihat di google trend, nyari yang jangka panjang dan lebih spesifik. Ternyata ya herbal itu potensinya besar, bunga telang. Tahun 2021 sudah mulai bergeliat lagi,” katanya.

Dalam proses bangkit kembali ini, Rini mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI. Dana segar sekitar Rp100 juta dia gunakan untuk modal usaha dan pengembangan Sarisa Merapi. Secara perlahan, omzet bisa meningkat sekitar 20 persen dari sejak mati suri karena pandemi.

Sarisa Merapi juga menjadi bagian Brilianpreneur dari BRI. “Sebagai bagian dari Brilianpreneur, sering diajak BRI untuk pameran di Jogja dan Jakarta. Dari pameran ini cukup berdampak pada pengenalan dan pemasaran produk,” kata Rini.

Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan BRI sebagai mitra pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan KUR. Sarisa Merapi masuk ke dalam sektor pertanian, yang menempati persentase 21 persen dari pengakses KUR di BRI Regional Office Jogja yang mencakup DIY dan sebagian Jawa Tengah. Di samping sektor pertanian, KUR BRI diakses oleh sektor perdagangan (42,2 persen), sektor jasa (23,6 persen), sektor industri pengolahan (11,7 persen), dan sektor perikanan (1,6 persen).

“BRI RO Jogja berkomitmen untuk mendukung program pemerintah, salah satunya adalah penyaluran kredit KUR. Di tahun 2023, BRI telah menyalurkan Kredit KUR sebanyak Rp18,45 Triliun dengan total 432.452 debitur. KUR Mikro sebanyak Rp16,46 Triliun dengan total 424.919 debitur, dan KUR Kecil sebanyak Rp1,98 Triliun dengan total 7.533 debitur,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/3/2024).

Paska mati suri pada pandemi, Sarisa Merapi sudah bisa berjalan dan belajar berlari lagi. Walaupun belum sebaik seperti sebelum masa pandemi, peningkatan produksi cukup menyenangkan. Kini sudah ada 16 karyawan, baik tetap ataupun pemborong. Semuanya merupakan warga sekitar tempat produksi.

Ke depan, Sarisa Merapi tetap akan konsisten dengan inovasi produk, setidaknya penambahan satu produk dalam setahun. Mereka juga berhasil membangun D’Kenthos Coffee pada 2023. Dalam peresmian D’Kenthos Coffee, Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo, hadir dan mengapresiasi inovasi pengolahan limbah salak menjadi bahan kopi tersebut. Dengan memanfaatkan limbah bijinya, nilai jual salak bisa semakin tinggi.

“Semoga inovasi olahan biji salak yang dilakukan KWT Kemiri Edum bisa menjadi motivasi bagi seluruh KWT di bawah binaan Pemerintah Kabupaten Sleman untuk meningkatkan kreativitas dalam menciptakan inovasi produk UMKM di Sleman,” kata Kustini dalam rilis resminya.

Tahun 2024 ini, target mereka ingin membuat food truck agar bisa memasarkan produknya dengan lebih leluasa. “Harapannya food truck enggak cuma satu, bisa jalan ke tempat-tempat wisata,” katanya. “Semoga selalu ada jalan, semoga bermanfaat untuk masyarakat sekitar.”

Rumah Belajar Warga Nusantara

Ilmu mengelola usaha serta kelembagaan coba Sarisa Merapi bagikan pada masyarakat. Melalui pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swadaya (P4S), mereka menyediakan berbagai paket edukasi. Ada paket edukasi produksi sampai kelembagaan. Kegiatan belajar bisa berpadu dengan outbound sampai Lava Tour dengan mobil jip di lereng Gunung Merapi.

Sudah sejak 2018, P4S ramai pengunjung. Masyarakat dari Nias sampai Jayapura sudah pernah mampir ke Dusun Kemiri, Purwobinangun, Pakem, Sleman. “Paketnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Yang pasti, kami mencoba memberikan motivasi, bahwa kami juga bener-bener membangun usaha dari nol, bukan usaha warisan. Kuncinya berproses, selama konsisten maka bisa tumbuh,” kata Rini.

Bagi Rini, salah satu kunjungan yang berkesan berasal dari Gubernur Lampung beserta jajaran bupati dan walikotanya. Awalnya dia bingung mengapa para petinggi di Lampung sampai berkunjung. Barulah dia tahu apabila belum tentu semua daerah bisa mengelola komoditas unggulannya. Rini berpikir mungkin produksi salak di Sarisa Merapi bisa menjadi salah satu referensi.

Pernah juga ada kunjungan dari salah satu daerah di luar Jawa. Seperti biasanya, awal pertemuan menjadi ruang Rini dan kawan-kawannya berbagi cerita tentang Sarisa Merapi. Pengunjung merupakan para pelaku usaha.

“Kami diminta sharing, memberikan motivasi. Udah cerita banyak, ada yang tanya, tanya apa coba? ‘Bu, maaf, di sini toko sepatu Bata di mana ya?’” kata Rini. “Ternyata memang [beberapa] orang datang ke Jogja, rata-rata buat belanja, mungkin mereka dari pedalaman.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Joko Pinurbo Meninggal, Kemendikbudristek: Penyair Legendaris Tuai Beragam Penghargaan

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 20:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement