Advertisement
Abon Aditya Wujud Kesetiaan pada Cita Rasa Sejak 30 Tahun Lalu
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Untuk sebuah makanan, cita rasa adalah atribut utama yang menentukan makanan tersebut bisa diterima oleh lidah banyak orang atau tidak. Mempertahankan cita rasa lezat selama puluhan tahun, tidaklah mudah.
Banyak tantangan bagi sebuah usaha makanan untuk mempertahankan cita rasa mulai dari sulitnya bahan baku hingga harga bahan baku yang semakin meroket. Pada kondisi tersebut, terkadang pengusaha melakukan berbagai cara agar tetap bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya misalnya dengan menurunkan kualitas bahan baku. Namun, berbeda dengan yang dilakukan pengusaha abon ayam dan nabati (berasal dari kluwih) bermerek Aditya ini.
Advertisement
Pemilik usaha, Sukitri mengatakan sejak 30 tahun lalu, ia selalu menggunakan bahan baku dengan kualitas yang baik sehingga cita rasa tidak berubah hingga sekarang. Ia tidak ingin mencurangi pelanggan yang telah setia menerima produknya. "Ibaratnya, kalau bahannya enggak bagus, saya sendiri enggak mau makan. Masa ya dijual ke orang lain?" kata dia kepada Harian Jogja ketika ditemui di rumah produksi Abon Aditya di Giwangan, Jogja, Jumat (28/9).
Ia mengatakan ayam yang digunakan ayam segar yang baru disembelih. Ia tidak mau menggunakan daging ayam yang telah dirisam air es ataupun sudah diawetkan. Hal itu akan berpengaruh pada kualitas abon. Jika memakai daging ayam yang diawetkan, abon akan hancur. Ketika harga ayam naik, ia tidak pernah menaikkan harga, kecuali saat mendekati Lebaran. "Kalau harga ayam naik, saya paling hanya bertahan [mempertahankan harga]. Yang penting bisa menutup biaya produksi. Karena pelanggan itu enggak mau. Bagi mereka, mereka belinya abon, bukan ayam."
Setiap harinya, bahan baku berupa daging ayam segar datang ke rumah produksi pukul 04.00 WIB. Sukitri langsung membersihkan dan merebus daging ayam itu selama tiga hingga empat jam agar benar-benar empuk. Setelah itu, daging ayam dipisahkan dari tulang-tulangnya. Daging-daging itu kemudian dicampur dengan bumbu seperti bawang merah, bawang putih, ketumbar dan gula.
"Setelah dicampur kemudian digoreng sekitar 30 menit. Setelah itu, dipres selama dua menit agar minyaknya kering. Kemudian diaduk-aduk atau istilahnya di-ewer-ewer agar tidak menggumpal. Lalu, langsung dikemas."
Setiap hari, ia memproduksi 50 kilogram (kg) abon. Untuk menghasilkan 50 kg abon ayam, ia membutuhkan 1,5 kuintal bahan baku. "Abon ayam ini saya jualnya per kg Rp130.000."
Selain abon ayam, Sukitri juga memproduksi abon nabati yang berbahan dasar kluwih. Abon itu dijual seharga Rp90.000 per kg. Namun, produksinya tidak terus-menerus tergantung ketersediaan bahan baku. "Jika tidak ada kluwih yang tidak bikin."
Sekitar 10 tahun lalu, ia pernah memproduksi abon daging sapi. Namun, ia terpaksa harus beralih ke daging ayam karena harga daging sapi yang terus melambung. "Rupanya, yang laku malah ayam. Jadi sampai sekarang."
Berdayakan Tetangga
Dalam memproduksi abon, Sukitri mempekerjakan empat karyawan yang berasal dari lingkungan sekitar rumahnya. Para pekerja itu mulai datang pukul 07.00 WIB dan biasanya proses produksi hingga pengemasan selesai pada pukul 13.00 WIB.
Selama 30 tahun ini, ada pekerja yang keluar untuk memulai usaha abonnya sendiri. Sukitri tidak keberatan jika ada yang ingin membuka usaha abon sendiri. "Namun pesan saya, jangan mengubah bahan baku. Ya ada yang bikin abon kluwih tetapi kulitnya tidak dikupas. Kalau saya ya enggak mau kaya gitu."
Meskipun bisa mempertahankan cita rasa, Sukitri tidak antikritik. Ia selalu menerima masukan konsumen tentang abon buatannya. Hal itu dinilai berguna untuk keberlangsungan bisnis dan kepuasan pelanggan.
Sukitri bak seorang local hero di lingkungan rumahnya yang berada di daerah Giwangan, Jogja. Adanya usaha abon, mampu memberi penghidupan bagi beberapa ibu rumah tangga. Ia hanya meminta para karyawannya untuk mau bekerja keras dan bersama-sama mempertahankan cita rasa. Ia pun menciptakan suasana kerja yang kekeluargaan.
Di antara empat pekerjanya, ada dua pekerja yang sudah ikut sejak mereka masih remaja. Salah satunya Sandi yang kini berusia 40 tahun. Sandi sudah menjadi karyawan selama 24 tahun. Ia merasa beruntung dengan kesempatan kerja yang diberikan. "Saya senang bisa bekerja di sini. Bisa mendapatkan penghasilan."
Hasil kerja kerasnya selama ini pun bisa untuk membantu suaminya membangun rumah, membeli kendaraan, dan membiayai sekolah anak.
Rencana Ekspor
Abon Aditya memiliki banyak pelanggan. Setiap hari, abon yang dihasilkan disetorkan ke Pasar Beringharjo, Jogja. Selain itu, ada pula pelanggan dari luar daerah. Abon itu sebagian besar ia jual ke Pasar Beringharjo atau diambil para pelanggan di rumah. Di antara para pelanggan, ada yang menjual kembali dan dikirimkan menggunakan jasa pengiriman barang.
Ia mengaku terkendala tenaga kerja untuk mengirimkan pesanan. "Jadi yang mengirimkan itu kadang pelanggan sendiri. Mereka ada kenalan di luar daerah yang ingin abon ini, jadi mereka sendiri yang mengirimkan."
Pengiriman abon ke luar daerah semakin dipermudah dengan banyaknya jasa pengiriman logistik seperti JNE, PT Pos, dan jasa lainnya. Hal itu pulalah yang ditangkap sebagai peluang oleh generasi penerus abon Aditya yakni Sungsang Kristanto. Ia melihat kemajuan teknologi menjadi peluang emas untuk melebarkan sayap usaha warisan dari almarhum ayahnya itu. "Saya ingin mengirimkan abon ini hingga ke luar negeri. Kebetulan ada beberapa teman yang bekerja di luar negeri, jadi ini saya membangun koneksi. Tinggal direalisasikan. Semoga secepatnya."
Ia juga ingin mempercantik kemasan dan membangun sebuah promosi dengan memanfaatkan media sosial dengan maksimal. Tidak menutup kemungkinan akan dibuka pemesanan via online.
Abon ini pun diklaim menjadi yang terenak. Setidaknya, itulah kata pelanggan setia. Salah satunya Sandra yang merupakan penjual nasi kuning. Abon menjadi kebutuhan wajib untuk melengkapi sajian nasi kuning agar semakin enak. Ia sudah berlangganan abon Aditya sejak tiga tahun lalu. "Abon di sini paling enak. Rasanya tidak berubah-ubah," ujar dia.
Sandra berniat untuk tetap setia menggunakan abon tersebut. Ia tidak ingini kehilangan pelanggan dengan berganti abon. "Kalau enggak pakai abon ini, pelanggan saya enggak mau."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Nilai Investasi Pabrik Kendaraan Listrik di Indonesia Tembus Rp15,1 Triliun
- Asosiasi E-Commerce Diajak untuk Mencegah Perdagangan Ilegal Satwa Liar
- Serapan Tenaga Kerja DIY Capai 34.950 Orang dalam Setahun
- Pengin Menabung di Deposito? Berikut Bunga Deposito BCA, Mandiri, BNI, dan BRI Terbaru
- Muhammadiyah Membangun Pusat Distribusi Barang untuk Warung Kelontong
Advertisement

Pelaku Mafia Tanah dengan Korban Mbah Tupon dan Bryan Bayar BPHTB ke Pemkab Bantul
Advertisement

Asyiknya Interaksi Langsung dengan Hewan di Kampung Satwa Kedung Banteng
Advertisement
Berita Populer
- BI DIY Optimistis Pertumbuhan Ekonomi DIY 2025 Capai 4,8 hingga 5,6 Persen
- Asosiasi E-Commerce Diajak untuk Mencegah Perdagangan Ilegal Satwa Liar
- Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Minta BPJS Ketenagakerjaan Lindungi Pekerja Lepas
- Belasan Chef dan Staf F&B Bertarung Kreativitas dalam Archipelago Black Box Battle
- Menteri Perindustrian Bilang Indonesia Tidak Dalam Fase Deindustrialisasi
- Nilai Investasi Pabrik Kendaraan Listrik di Indonesia Tembus Rp15,1 Triliun
- Bulong Sebut Menyewa Gudang BUMN dan TNI, Stok Beras hingga 4 Mei Tembus 3,5 Juta Ton
Advertisement