Advertisement

Promo November

Tensi Perang Dagang: Hanya AS & Tiongkok yang Bisa Meredakan

Dwi Nicken Tari & Hadijah Alaydrus.
Senin, 15 Oktober 2018 - 11:10 WIB
Laila Rochmatin
Tensi Perang Dagang: Hanya AS & Tiongkok yang Bisa Meredakan Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kanan) berfoto bersama Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde (ketiga kanan), Presiden Grup Bank Dunia Jim Yong Kim (ketiga kiri), Gubernur Bank Sentral Inggris yang juga Ketua Dewan Stabilitas Keuangan IMF Mark Carney (kiri) dan Gubernur Bank Sentral Afrika Selatan yang juga Ketua Komite Moneter dan Keuangan Internasional IMF Lesetja Kganyago (kanan) saat menghadir

Advertisement


Harianjogja.com, NUSADUA--Pembicaraan mengenai tensi dagang terdengar hampir dari seluruh penjuru resort Nusa Dua Bali sepekan lalu. Pasalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut tensi dagang dapat merusak pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dan tahun depan.


Diskusi mengenai tensi dagang pun merembes ke pembicaraan mengenai perang mata uang pada akhir pekan lalu. Pasalnya, Tiongkok dikhawatirkan bakal menggunakan mata uang dan kepemilikan obligasi Treasury AS sebagai “penawaran kunci” untuk menyelesaikan sengketa dagang.

Advertisement

Hal itu pun berisiko melambungkan yield dan menambah volatilitas ke dalam dolar AS. Mengutip Bloomberg, Minggu (14/10/2018), kepemilikan Tiongkok terhadap obligasi jangka pendek AS merosot ke level terendahnya dalam enam bulan pada Juli, setelah AS memberlakukan tarif pertamanya untuk Tiongkok yang sebesar 25% untuk produk asal Tiongkok senilai US$34 miliar.

“Saya tidak khawatir. Pasar Treasury sangat likuid, dan bagian ini tidak pernah muncul dalam diskusi kami,” kata Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam press briefing di sela-sela Pertemuan Tahunan IMF—WBG pada Sabtu (13/10/2018).

Dia menambahkan bahwa Tiongkok dapat melakukan apa pun karena AS memiliki banyak peminat untuk obligasinya.

Dia juga menyatakan bahwa belum ada keputusan mengenai pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada pertemuan negara kelompok 20 (G20) pada bulan depan di Buenos Aires, Argentina.

Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda mengingatkan aksi proteksionisme dalam ketegangan perdagangan ini harus diperhatikan karena pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Bahkan, kondisi ini akan meningkatkan harga barang kebutuhan rumah tangga sehingga dapat memicu inflasi. "Oleh karena itu upaya melanjutkan dialog internasional dibutuhkan," ungkapnya.

Di sisi lain, Gubernur Bank Sentral China (PBOC) Yi Gang menyampaikan bahwa China tidak akan menggunakan mata uang sebagai senjata dalam perang dagang.
Dia menyampaikan bahwa China akan mencari cara untuk menyelesaikan tensi dengan AS secara konstruktif dan akan terus membuka industri layanan keuangan.

"Tensi dagang telah menjadi masalah karena menimbulkan ekspektasi negatif, membuat ketidakpastian dan membuat orang gugup," ujarnya dalam G-30 Lecture.
Terkait dengan isu perang dagang, Gang mengungkapkan, semua pihak harus melihat struktur ekspor Tiongkok.

Di menjelaskan perusahaan swasta yang ditopang oleh dana asing mendominasi ekspor Tiongkok, yakni sekitar 45%. Sementara itu, swasta dalam negeri berkontribusi sebesar 45% dan BUMN Tiongkok sebesar 10%.

Dari struktur ini, dia menegaskan bahwa semua pihak dapat melihat siapa yang akan terkena banyak dampak dari perang dagang tersebut.

Menurutnya, Tiongkok tengah menyoroti masalah defisit neraca jasa. Ekspor jasa AS ke Tiongkok tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir. "Dalam 1 dekade terakhir surplusnya tumbuh sekitar 20% per tahun dan sekarang AS memiliki sekitar US$40 miliar surplus per tahunnya dari perdagangan jasa," kata Gang.

Tidak hanya itu, banyaknya masyarakat Tiongkok yang bersekolah di AS menambah beban defisit di sektor pendidikan. Data statistik pada 2015 menunjukkan nilai anak usaha dari perusahaan AS yang beroperasi dan menjual barangnya di Tiongkok mencapai US$220 miliar. "Angka ini sangat besar," tegasnya.

Saat ini, dia juga mengakui bahwa Tiongkok harus membayar hak intelektual ke seluruh dunia sebesar US$29 miliar dan persentase terbesar dari nilai tersebut dibayarkan ke AS.

Melihat hal ini, dia menuturkan bahwa Tiongkok tidak akan tinggal diam dan akan melakukan reformasi ke depannya. Tiongkok akan memperketat perlindungan hak intelektual dan akan mendorong kompetisi BUMN yang netral. Gang juga menegaskan Tiongkok akan memperkuat sektor jasanya, terutama di bidang jasa keuangan.

"Saya pikir kita juga harus mencari solusi yang tepat untuk kondisi perdagangan saat ini," kata Gang.

Terkait dengan dampak perang dagang terhadap rantai pasok dunia, Gang mengakui adanya dampak yang lebih luas kepada negara-negara yang menjadi partner dagang Tiongkok.

Melihat betapa besarnya dampak ini, dia sangat berharap seluruh dunia dapat bergerak mencari solusi yang konstraktif. Bahkan kepada AS, Tiongkok memaparkan kesediaannya untuk mencari solusi. "Karena solusi yang konstruktif lebih baik daripada perang dagang," tegasnya.

Jalan Keluar
Adapun dalam pertemuan terakhir pada level menteri keuangan dan bank sentral negara G20 yang diselenggarakan di sela-sela Pertemuan Tahunan, belum juga ditemukan jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa dagang dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.

Menkeu Argentina Nicolás Dujovne hanya menyampaikan bahwa G20 sepakat perlu adanya penyelesaian perang dagang pada tataran internal anggota G20 yang terlibat tensi dagang tinggi itu.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Menkeu Jepang Taro Aso memiliki pendapat yang sama bahwa perang dagang harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa.

“Jalan satu-satunya ya mereka [AS dan Tiongkok] harus bertemu,” kata Sri Mulyani dalam press briefing.

Senada, Aso juga menyampaikan bahwa negaranya tidak akan mengambil langkah apapun dan akan mengikuti setiap keputusan yang diambil oleh G20 karena persoalan antara AS dan Tiongkok harus diselesaikan oleh negara yang bersengketa saja.

Adapun pada awal pekan lalu, tensi dagang menjadi salah satu alasan bagi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini dan tahun depan sebesar 0,2% menjadi 3,7%.

"Kami memperkirakan bahwa eskalasi ketegangan perdagangan saat ini dapat mengurangi PDB global hampir satu persen selama dua tahun ke depan," tutur Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde dalam Plenary Meeting Session IMF-WB.

Dia pun mengingatkan agar sistem perdagangan global perlu direformasi menjadi lebih baik dan adil untuk semua negara. "Itu berarti memperbaiki sistem, bersama-sama," imbuh Lagarde.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Lewat Film, KPU DIY Ajak Masyarakat untuk Tidak Golput di Pilada 2024

Sleman
| Sabtu, 23 November 2024, 23:27 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement