Advertisement
Media Asing Sebut Kebijakan Ekonomi Prabowo Menyimpang dari Sang Ayah

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Media asing The Economist menyoroti sejumlah program Presiden Prabowo Subianto, mulai dari Koperasi Desa hingga Danantara, yang menjalankan pemikiran-pemikiran yang berbeda dari ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo.
Dilansir pada Jumat (15/8/2025), artikel berjudul "Indonesia’s new president has daddy issues" mengungkapkan setelah terpilih menjadi Presiden tahun lalu, Prabowo mengatakan kepada adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bahwa ia akhirnya bisa “menjalankan program dari papi” dan mewujudkan “aspirasi serta mimpi” sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo.
Advertisement
BACA JUGA: Hutang RI Nyaris Tembus Rp7.000 Triliun
Sumitro dikenal sebagai arsitek pembangunan Indonesia pascakemerdekaan, yang pernah menjabat sebagai menteri di era Presiden pertama RI Soekarno maupun Presiden Soeharto.
Namun, The Economist menyebut jika Sumitro masih hidup, dia kemungkinan akan terkejut melihat populisme ekonomi yang diklaim sebagai warisannya.
"Ekonom yang mendirikan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu kemungkinan akan memandang program unggulan Prabowo — makan siang gratis, koperasi desa, dan pembentukan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) baru — sebagai bentuk belanja negara yang tak disiplin, sesuatu yang justru ia peringatkan sepanjang kariernya," tulis The Economist
The Economist menyebut, filosofi ekonomi Sumitro bersifat pragmatis, bukan ideologis. Sumitro percaya pada pelatihan ketat dan berbasis bukti. Meski pernah menjadi sosialis saat kuliah di Paris, pendekatannya berlandaskan metode yang jelas: identifikasi masalah yang tepat, tetapkan fakta, lalu gunakan logika untuk mencari solusi.
Artikel tersebut menjelaskan, saat Indonesia kekurangan ekonom, Sumitro berhasil meyakinkan Ford Foundation mengirim mahasiswa ke University of California. Langkah ini melahirkan “Mafia Berkeley”, kelompok teknokrat yang kemudian berperan besar dalam keberhasilan ekonomi era Soeharto.
Sejak 1952, Sumitro sudah mengingatkan pemerintah untuk menghindari intervensi langsung bila kapasitas eksekusinya minim.
Makan Siang Gratis dan Koperasi Desa
Janji Prabowo menggelontorkan US$28 miliar per tahun untuk program makan siang gratis adalah contoh intervensi besar yang diperingatkan Sumitro. Menurut Arianto Patunru dari Australian National University dalam artikel tersebut, masalah gizi anak di Indonesia bukan soal jumlah makanan, melainkan kualitasnya.
Cara paling efektif menurunkan stunting adalah membantu ibu hamil dan balita, namun kebijakan ini justru mengalihkan sumber daya untuk murid sekolah.
The Economist juga menyoroti program koperasi yang dicanangkan Prabowo. Dalam artikel itu, The Economist menyebut Sumitro mendukung koperasi sebagai sarana pembangunan yang terdesentralisasi, bukan alat kendali politik. Pandangan tersebut berakar pada penelitian disertasinya pada 1942 tentang kredit pedesaan di Jawa, yang dia selesaikan di Belanda saat negara itu diduduki Jerman.
Penelitian itu meneguhkan keyakinannya bahwa pedagang kecil akan terjebak dalam kemiskinan jika pemerintah tidak berinvestasi pada pendidikan, pelatihan, dan koperasi.
Semangat pemberdayaan akar rumput ini kontras dengan program terbaru Prabowo, yakni koperasi merah-putih. Diluncurkan pada Juli lalu, program ini menetapkan model seragam bagi 80.000 koperasi di seluruh Indonesia, terlepas dari kebutuhan lokal.
Analis politik Kevin O’Rourke dalam artikel tersebut menilai kebijakan ini justru memperluas kendali pusat hingga ke desa, memberi keuntungan bagi kepala desa yang loyal.
Danantara
The Economist memberikan contoh yang paling mencolok: Danantara, dana kekayaan negara Indonesia senilai US$900 miliar. Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, menyebut pembentukan Danantara sebagai perwujudan visi sang ayah dalam mengonsolidasikan aset negara dan mengarahkan investasi strategis.
Danantara memang dinilai sebagai perwujudan mimpi Sumitro 29 tahun silam, yang telah lama menggagas pembentukan lembaga independen untuk mengelola dana hasil penyisihan laba BUMN.
Laporan bertajuk ‘Sumitro: Perlu lembaga khusus urus dana BUMN’ di harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 17 Desember 1996, mengutip pernyataan Sumitro agenda Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia (IKPRI), Senin, 16 Desember 1996 yang mengusulkan pemerintah membentuk lembaga independen yang menangani penggunaan dana hasil penyisihan 1%–5% laba BUMN.
Pasalnya, penyisihan laba perusahaan pelat merah tanpa adanya lembaga independen yang mengelola tidak akan efisien.
"Saya kira untuk gerakan koperasi secara menyeluruh [pemanfaatan laba 1%–5%] kurang efektif dan saya sangsi apakah itu efisien. Sekarang ini terpencar-pencar. Ratusan BUMN, ratusan tanya,” katanya selepas menyampaikan pidato pada Rapat Anggota IKPRI.
Diapun mengusulkan agar dana yang besar itu dikumpulkan dan dipusatkan sebagai "Dana investasi untuk pembinaan gerakan koperasi dan usaha kecil, agar efektif dan efisien.
Kelak, katanya, dana investasi itu di samping berperan sebagai semacam investment trust juga dimungkinkan berperan sebagai dana jaminan (guarantee fund).
Sumitro menyarankan lembaga yang mengelola dana investasi tersebut independen serta tidak terikat dengan satu departemen, dan harus profesional. Juga, perlu dibentuk Dewan Pengawas yang diambil dari unsur menteri koperasi, menteri keuangan serta menteri perindustrian dan perdagangan.
Namun, The Economist menilai Sumitro kemungkinan akan menilai strukturnya berantakan. Danantara berada langsung di bawah presiden, diketuai mantan manajer kampanye Prabowo, dan minim pengawasan.
"Sumitro mungkin akan melihatnya sebagai contoh klasik penyakit kelembagaan Indonesia: korosi kebijakan publik oleh kepentingan pribadi," tulis The Economist
Istilah tersebut telah dilontarkan Sumitro pada puncak krisis finansial Asia 1998, saat Soeharto membelokkan kekuasaan negara demi bisnis keluarganya. Pekan ini, direktur sebuah BUMN pertanian mundur enam bulan setelah menjabat, dengan alasan Danantara menambah birokrasi yang tak perlu.
Sumitro memahami bahwa ekonomi berkembang membutuhkan keseimbangan yang rumit. Kebijakannya bertujuan menarik investasi asing sambil membangun kapasitas kelembagaan secara bertahap.
"Sebaliknya, sang anak memilih menukar stabilitas fiskal dengan program populis yang memperkuat kekuasaan, tetapi minim dorongan pertumbuhan jangka panjang. Pemerintahan Prabowo memadukan kontrol otoriter dengan belanja populis — sebuah distorsi dari warisan sejati Sumitro: disiplin fiskal dan institusi kuat yang sangat dibutuhkan Indonesia," tulis artikel tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2026 Ditargetkan Minimal 5,4 Persen
- Saat Prabowo Pidato IHSG Sempat Sentuh 8.000, Lalu Tergelincir ke Zona Merah
- Periode Januari-Juli 2025, KAI Angkut 60 Ribu Ton Avtur ke Bandara YIA Kulonprogo
- Kebijakan Satu Harga Beras Tunggu Arahan Prabowo
- PHRI DIY Sebut Reservasi MICE Mulai Naik di 15-20 Persen
Advertisement

Polda DIY Gelar Pangan Murah hingga 20 Agustus, Beras Dijual Rp11 Ribu per Kg
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- OJK Sebut 83 Persen Korban Penipuan Terkait Keuangan Terlambat Melapor
- Periode Januari-Juli 2025, KAI Angkut 60 Ribu Ton Avtur ke Bandara YIA Kulonprogo
- Harga Emas di Pegadaian Hari Ini 15 Agustus 2025, Antam Turun, UBS-Galeri24 Naik
- Saat Prabowo Pidato IHSG Sempat Sentuh 8.000, Lalu Tergelincir ke Zona Merah
- Media Asing Sebut Kebijakan Ekonomi Prabowo Menyimpang dari Sang Ayah
- Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2026 Ditargetkan Minimal 5,4 Persen
- Dorong Anak Muda Melek Finansial, Prudential Syariah Edukasi Mahasiswa di Jogja
Advertisement
Advertisement